56. Jati Diri

183 52 22
                                    

Di belakang pasukan Kediri sisi utara, Mahisa Rubuh dan Panglet menyaksikan pasukan Dyah Wijaya berhasil menahan serangan panah. Tidak cuma bertahan dari gempuran ribuan pasukan, mereka bahkan terus merangsek ke utara. Kalau kondisi ini dibiarkan, niscaya misi untuk membunuh sang pangeran akan gagal total.

Mahisa Rubuh berdarah bangsawan dari Wangsa Isyana dan merupakan kerabat jauh Jayakatwang. Ia salah satu panglima andalan Kebo Mundarang di samping Pudot dan Bowong. Usianya masih muda, sebaya dengan Dyah Wijaya. Tubuhnya ramping, namun berotot. Kulit sawo matangnya menambah kesan maskulin, mengimbangi wajah bulat yang manis seperti perempuan. Andai tidak memegang keris dan memakai baju zirah, ia sangat cocok menjadi pemain sendratari lakon panji yang lembut. Namun, jangan salah. Mahisa Rubuh terkenal garang dan tidak punya belas kasihan dalam pertempuran.

"Bagaimana ini, Raka?" tanya Panglet yang masih terpana melihat ketangguhan pasukan Dyah Wijaya. Berbanding terbalik dengan Mahisa Rubuh, Panglet tinggi besar, bercambang lebat, dan terlihat garang. Tidak ada yang menyangka mereka berdua adalah saudara sepupu.

"Jangan biarkan mereka kabur! Kerahkan pasukan cadangan untuk membuat sibuk panglima-panglima itu. Kita akan turun langsung menghadapi Dyah Wijaya!" balas Mahisa Rubuh, tegas.

Yang dimaksud pasukan cadangan oleh Mahisa Rubuh adalah sekumpulan orang sakti yang diambil dari berbagai pelosok dwipantara dan dipersiapkan khusus untuk menandingi kesaktian anak buah Dyah Wijaya. Mereka bahkan mempelajari kelemahan dan keunggulan masing-masing panglima.

Panglet segera memerintahkan pasukan itu untuk mengeroyok sembilan panglima Dyah Wijaya. Segera setelah para panglima sibuk melawan orang-orang itu, Mahisa Rubuh menarik keris pusaka dari pinggang. Panglima Kediri yang berperawakan langsing itu meloncat dari kuda, melayang sejenak di udara, lalu menjejak batang pohon. Tubuhnya melenting lagi, menjejak batang pohon lagi sehingga ia tampak seperti terbang di udara. Panglet mengikuti di belakangnya. Dalam beberapa gerakan, mereka berhasil melampaui pasukan yang tengah bertempur, dan mendekati inti mandala di mana Dyah Wijaya berada.

Mahisa Rubuh dan Panglet terjun langsung ke hadapan Dyah Wijaya. Keduanya langsung diserang oleh pasukan pengawal sang pangeran. Kedua panglima Kediri itu mengayun keris dengan beringas. Beberapa pasukan pengawal Dyah Wijaya bertumbangan. Mereka memang bukan tandingan kedua orang itu.

Dyah Wijaya terpaksa turun agar nyawa anak buahnya tidak melayang sia-sia. Sang pangeran turun dari kuda sambil melancarkan pukulan jarak jauh ke Mahisa Rubuh dan Panglet. Serangan itu tidak melukai keduanya, namun berhasil membuat mereka bertempur dengan pasukan pengawal.

Dyah Wijaya berdiri tegak dengan keris pusaka terhunus. "Hei, kalian! Hadapi aku!" tantangnya.

Mahisa Rubuh dan Panglet saling memberi kode dengan pandangan mata. Mereka membuat kuda-kuda, lalu menggerakkan keris dari atas kepala ke dada, menyatukan kekuatan. Mereka tidak tahu apakah jurus pamungkas itu sanggup membunuh Dyah Wijaya. Namun, anak buah mereka telah siap di belakang. Begitu Dyah Wijaya melemah dan pertahanan gaibnya terbuka, orang-orangnya akan mengeroyok sang pangeran sampai titik darah penghabisan. Yang jelas, adu kesaktian ini akan menghambat pelarian pasukan Singasari dan memberi waktu yang cukup bagi pasukannya untuk menghabisi mereka.

Udara mendadak menjadi padat dan pengap manakala dua kubu sakti mengerahkan kekuatan gaib. Wajah Mahisa Rubuh dan Panglet memerah, urat-urat di kening dan leher menonjol, pertanda sang pemilik mengerahkan kemampuan maksimal.

Bersamaan dengan itu Dyah Wijaya memusatkan kekuatan di daerah pusar, lalu mengalirkannya ke seluruh tubuh, terutama ke keris pusaka. Matanya siaga tajam mengawasi musuh. Sikapnya tenang, namun wibawa terpancar nyata dari wajahnya yang rupawan. Ia yakin bisa mengalahkan kedua orang ini. Namun, kecepatan pergerakan pasukan adalah kunci. Waktu yang terbuang untuk bertarung melawan kedua panglima ini akan membawa akibat jatuhnya lebih banyak korban di antara pasukannya.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang