Banyak Seta mengerang sambil memegangi bahu kiri yang terluka. Keris Kebo Wungkul masih menancap di sana. Untung saja ia sempat berkelite sehingga senjata itu hanya menyasar puncak bahu, lalu tembus ke punggung bagian atas. Hanya ototnya yang terluka, sedangkan organ dalamnya masih aman.
Ketiga Kebo tidak mau membiarkan musuhnya mengumpulkan tenaga. Ketiganya terjun ke tanah untuk memburu Banyak Seta. Kebo Wungu dan Kebo Sumurup segera menyerang sebelum Banyak Seta sempat bangkit. Kebo Wungkul mengambil tombak milik prajurit yang tewas, lalu menyusul kedua saudaranya.
Banyak Seta berguling ke samping dengan cekatan. Sabetan keris Kebo Wungu dan Kebo Sumurup hanya mengenai udara. Tombak Kebo Wungkul malah menancap di tanah dan sulit dicabut. Banyak Seta memanfaatkan saat kritis itu untuk bangkit dan mencabut keris Kebo Wungkul. Rasa sakit yang menyayat tak dihiraukannya.
"Hiyaaah!" Banyak Seta menyerang balik menggunakan keris Kebo Wungkul yang diisi tenaga dalam. Ia terpaksa mengerahkan ilmu pamungkas demi menghemat waktu.
Ketiga Kebo langsung terpelanting. Tubuh mereka menghantam dinding gedung, lalu jatuh ke tanah. Darah meleleh dari luka robek di perut. Banyak Seta meninggalkan mereka dan melesat menuju Balai Manguntur tempat Kertanagara disandera.
"Tuan!" Sarba dan Kambang berlari menyusul atasannya.
Banyak Seta menoleh dan seketika kecewa karena hanya menemukan kedua kakak beradik itu. "Di mana penjaga penjara? Mereka gugur?"
"Tidak, Tuan. Kami tadi sempat dikeroyok tiga puluh orang, tapi selamat karena dibantu Tuan Panji Patipati. Para penjaga penjara itu sekarang diminta membantu mengawal putri-putri Paduka Raja karena Tuan Panji Patipati hanya seorang diri," sahut Kambang.
Banyak Seta tahu siapa Panji Patipati. Pemuda itu telah menjadi murid kesayangan Kertanagara sejak kecil, bahkan selalu berada di kaki sang raja untuk memijatnya. Ayahnya—yang juga bernama Panji Patipati—adalah pujangga kerajaan yang memangku agama Siwa. Karena jasanya, Panji Patipati Tua mendapat anugerah tanah perdikan Sukamerta. Sedangkan jabatan Panji Patipati Muda saat ini adalah rakryan demung yang memimpin pasukan penjaga keselamatan raja.[1]
"Panji Patipati hanya seorang diri? Ke mana pasukan pengawal raja?" Banyak Seta semakin cemas akan nasib Kertanagara.
"Semua sudah gugur," sahut Kambang. "Tuan Panji Patipati meninggalkan balairung karena diperintah Baginda Raja untuk mengungsikan putri-putri Paduka ke Sumenep, ke tempat Paduka Arya Wiraraja."
Banyak Seta merasakan kehancuran sudah di depan mata. Pasukan elite yang merupakan garda pertahanan terakhir Kertanagara pun telah sirna. Ia teringat Gayatri dan berusaha mendeteksi keberadaan kerisnya. Hanya sayang, tidak terasa getaran apa pun. Ia bahkan tidak tahu di mana pusaka itu berada. Hati Banyak Seta semakin carut-marut. Mengapa bisa begini? Ke mana perginya gadis itu?
"Tuan terluka?" Sarba mengerling ke bahu kiri junjungannya yang berlumur darah.
Banyak Seta segera meredakan debaran jantung akibat bayangan Gayatri sempat melintas. "Tidak apa-apa, hanya luka kecil. Apakah Panji Patipati memberi tahu tentang keadaan di dalam balairung?"
Kilau mata Sarba dan Kambang meredup. Bahkan terlihat air mata menggenang.
"Tuan Panji Patipati bertempur sampai semua pasukannya terdesak ke dalam balairung. Beliau dan sisa pasukan pengawal akhirnya hanya bisa berdiri di sekeliling Baginda Raja dan Mahapatih sebagai tameng," tutur Kambang sambil berusaha menahan air matanya agar tidak berjatuhan. "Tapi, Baginda Raja kemudian memerintahkan pasukan Tuan Panji Patipati menerobos keluar untuk menyelamatkan putri-putri Baginda. Dalam usaha keluar itu, semua anggota pasukan beliau gugur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...