46. Hilang

206 51 22
                                    

Keputren kacau balau. Tribhuwana, Dyah Duhita, dan Prajna Paramita tidak menemukan Gayatri. Gadis itu seharusnya ikut bersama mereka untuk menyelamatkan diri.

"Duh, sudahkah kaucari benar-benar, Patipati?" tanya Tribhuwana dengan bibir gemetar.

Istri Dyah Wijaya itu tidak bisa menyembunyikan kekalutan. Entah mengapa, sejak petang tadi hatinya diliputi keresahan. Bukan hanya kepergian sang suami ke medan pertempuran yang tidak biasa, namun udara hari ini terasa lebih padat dan panas. Bahkan setelah malam merayap ke puncak pun, hawa pengap itu belum juga menghilang. Serangga dan katak malam yang biasanya ramai di sekitar kolam istana, malam ini tidak bersuara sama sekali. Mungkin mereka tahu akan ada mara bahaya sehingga sudah kabur sedari tadi. Suara mereka akhirnya digantikan oleh hiruk pikuk pertempuran. Saat itulah Tribhuwana baru mengerti arti pertanda alam itu.

"Ampun, Paduka. Hamba sudah mencari ke tempat-tempat yang Paduka sebutkan, namun tidak ada jejak Paduka Gayatri," sahut Panji Patipati.

Tribhuwana sempat diberi tahu oleh penjaga istana telah terjadi penyerangan ke ibukota. Langit yang membara merah pun terlihat dari kediamannya. Namun, ia tidak menyangka kondisi istana sedemikian terancam hingga mereka harus mengungsi. Ia baru panik ketika penjaga bertempur di luar dinding keputren, lalu ada penjaga baru yang mengurung mereka. Setelah itu, terjadi lagi pertempuran yang menewaskan semua penjaga baru oleh Panji Patipati dan pasukannya. Informasi yang dibawa oleh kepala pasukan pengawal Kertanagara itu sungguh menghancurkan hati. Istana dalam kondisi genting. Bahkan keselamatan ayahandanya pun belum dapat dipastikan.

"Hamba sudah mengutus prajurit pilihan untuk mencari Paduka Gayatri. Sudilah Paduka bertiga berangkat bersama hamba sekarang juga," bujuk Panji Patipati dengan nada yakin, padahal prajuritnya sudah habis. Setelah pertempuran tadi, tiga dari penjaga penjara gugur. Praktis mereka kini hanya berenam.

"Bagaimana mungkin aku meninggalkan adikku begitu saja?" keluh Tribhuwana.

"Ampun, Paduka. Hamba pasti mengusahakan keselamatan Paduka Gayatri. Namun, kiranya Paduka bersedia berangkat sekarang juga agar bisa menyelamatkan cucu Paduka Raja yang ...." Panji Patipati tidak melanjutkan perkataan, melainkan hanya memberi tanda dengan ibu jari ke arah perut Tribhuwana.

Air mata Tribhuwana menetes saat tanpa sadar mengelus perutnya. Baru sepekan yang lalu ia mengetahui dirinya mengandung. Bagaimanapun juga, ia berkewajiban melindungi putra pertama Dyah Wijaya itu. Dengan berat hati, Tribhuwana akhirnya mengangguk.[1]

"Baiklah, tapi berjanjilah padaku untuk menemukan Gayatri."

Panji Patipati lega dan segera bergegas untuk menyiapkan jalur pelarian.

☆☆☆

Pandangan Banyak Seta menjadi gelap saat gulungan energi menyapu dirinya, tepat di ulu hati dan dada. Rasa nyeri seperti diseruduk gajah itu membuat napasnya tercekat. Ia sempat merasakan tubuhnya melambung ke udara, namun sesudah itu, tidak ingat apa-apa lagi.

Masih dalam pejam, Banyak Seta mencium aroma asap tungku dapur dan nasi yang dikukus. Bau harum itu bercampur aroma jamu dan anyir darah. Paduan yang sangat mencurigakan.

Banyak Seta berusaha membuka pelupuk yang terasa berat dan melekat. Kedua matanya baru terbuka setelah beberapa kali tarikan napas. Itu pun dengan menarik kedua alisnya ke atas sekuat tenaga. Begitu terbuka, seberkas kecil cahaya matahari membuatnya mengernyit karena silau.

Pemandangan pertama yang terlihat oleh pemuda itu adalah atap daun kelapa kering dan kasau bambu. Saat menggerakkan kepala ke kanan, ia menemukan dinding anyaman bambu dan jendela kecil yang hanya terbuka sedikit. Ada cahaya matahari menembus celah-celahnya. Semilir angin membawa hawa dingin beraroma embun dari pepohonan hutan. Ia menduga dirinya berada di sebuah pondok di lereng gunung. Akan tetapi, gunung apa? Mungkinkah Gunung Arjuna?

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang