Para pendayung kelulus bekerja keras melajukan kapal. Mereka masih dilindungi Dewata. Saat bala bantuan Kediri mencapai bibir pantai, kelulus sudah berada jauh di tengah lautan, tidak terjangkau oleh panah maupun tombak. Orang-orang Kediri itu termakan perbuatannya sendiri. Andai mereka tidak membakar semua perahu dan kapal milik penduduk Tawangalun, barangkali mereka masih bisa mengejar Kapal Banyak Seta.
Gayatri dibaringkan di bilik kecil berdinding bambu yang terletak di buritan kapal. Tempat tidurnya dibuat dari tumpukan kain milik para prajurit. Memang tidak sebanding dengan pembaringannya di istana dulu, namun jauh lebih nyaman daripada alas tidurnya selama pelarian di hutan. Tidak ada perempuan lain di kapal itu sehingga terpaksa Banyak Seta-lah yang menyeka kulit Gayatri dan mengoleskan lemak bercampur ramuan pada luka-lukanya.
"Kanda Seta ...," panggil Gayatri karena sedari tadi Banyak Seta berusaha menghindari bertatapan pandang dengannya.
"Ya, Paduka?" sahut pemuda itu sambil mengoleskan lemak obat pada telapak kaki Gayatri.
Gayatri berharap Banyak Seta menatap dengan hangat, penuh kerinduan. Tapi kenyataannya, ia terpaksa gigit jari. "Kanda tidak rindu pada saya?" gumam Gayatri.
"Ya, Paduka?" Banyak Seta mendongak, menelisik wajah junjungannya.
Gayatri kecewa. Sorot mata Banyak Seta dingin saja, seolah dirinya bukan siapa-siapa. "Ah, tidak. Saya cuma bicara sendiri. Sudah selesai mengoles obatnya?"
"Sudah."
"Terima kasih."
Banyak Seta mengangguk hormat, lalu undur diri sambil membawa baskom dan lap kotor. Gayatri mulai mencari-cari alasan mengapa sikap Banyak Seta menjadi terlalu menjaga jarak seperti ini. Mungkinkah telah terjadi sesuatu? Ia teringat gadis yang mengantar keris dulu. Gadis itu sangat cantik dan berilmu tinggi pula. Mungkinkah selama jauh dari istana, Banyak Seta menjalin hubungan dengan gadis itu?
Benar, bukan? Punggung hangat yang menenteramkan tadi hanya hiburan sementara? Gula-gula pengalih rasa pahit yang sekejap saja larut?
Di saat seperti ini, Gayatri benar-benar merindukan para abdi setianya. Merekalah orang pertama yang selalu menjadi penampungan segala keluh kesah dan kegalauan. Dan sekarang, kelima orang kepercayaan itu telah tiada.
Banyak Seta masuk kembali ke bilik sambil membawa cawan dan mug tanah liat berisi ramuan jamu. Pemimpin pasukan kelulus menyiapkan madu berkualitas bagus dan telur ayam untuk meningkatkan kekuatan pasukan, terutama para pendayung. Tukang masak pasukan membuatkan campuran madu dan kuning telur serta minuman rempah untuk meredakan demam Gayatri.
Gayatri buru-buru menyeka air matanya dengan punggung tangan. Namun, Banyak Seta telanjur memergoki cucuran air mata itu.
"Paduka, jangan memikirkan apa pun. Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan Paduka," hibur Banyak Seta, sambil duduk di sisi gadis itu.
Gayatri mengangguk, lalu bangkit duduk dan menerima cawan dan mug itu. Mungkin benar, segala peristiwa akhir-akhir ini telah merapuhkan jiwanya sehingga kejadian kecil saja bisa membuatnya galau.
"Apa ini, Kanda?"
"Itu madu hutan dicampur kuning telur dan minuman kunyit, jeruk, dan kayu manis," ucap Banyak Seta.
Gayatri mencium aromanya yang harum, namun sedikit amis. Ia teringat Sandyasa Lebu yang rusak. Apakah sebaiknya surat rahasia itu ditunjukkan pada Banyak Seta sekarang? Bukankah niat itu sudah tertunda cukup lama?
Gayatri meletakkan cawan dan mug di lantai bilik, lalu meraih buntalan kainnya. Dari dalam buntalan, diambilnya botol keramik Sandyasa Lebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...