Tiga kelulus berangkat dari pelabuhan Rembang pagi dini hari, setelah para pendayung mendapat istirahat yang cukup. Perjalanan mereka akan mengarungi Sungai Brantas menuju muaranya, lalu melintasi Selat Madura ke arah selatan, dan kemudian membelok ke timur, menuju Sumenep di ujung timur Pulau Madura. Arya Gala membawa 180 pasukan tempur laut yang tersisa di pangkalan militer Hujung Galuh untuk menjamin keamanan Dyah Wijaya.
Banyak Seta dan Panji Patipati ikut di kapal paling belakang. Mereka melintasi geladak lantai dasar di mana tiga puluh pendayung yang terdiri dari pemuda-pemuda berbadan sehat membuat kelulus meluncur cepat. Aba-aba pemimpin dayung dan seruan penyemangat para pendayung memenuhi geladak. Banyak Seta kembali terseret ingatan masa lalunya saat ditugaskan untuk mengecek pangkalan militer di Hujung Galuh. Ia jadi terpikir nasib Wiskira lagi.
"Patipati, kamu tidak berjumpa bapa saya? Dia pergi berdua dengan pedagang dari Bakula Pura."
"Siapa namanya dan bagaimana ciri-cirinya?"
Banyak Seta menyebutkan nama dan ciri-ciri ayahnya. Panji Patipati mengingat-ingat sejenak, kemudian menggeleng. Banyak Seta memang tidak berharap banyak, namun setidaknya ia berusaha mencari petunjuk.
Kepala pasukan mengajak mereka naik ke lantai dua. Atap kelulus sudah diubah menjadi tempat pasukan tempur. Di tempat ini, telah siaga tiga puluh prajurit. Senjata mereka lengkap, berupa panah dan tombak.
"Persenjataan dan bahan makanan kita cukup untuk bertempur selama seminggu, Tuan," lapor kepala pasukan.
Banyak Seta dan Panji Patipati memeriksa sejenak perlengkapan tempur dan menjadi puas. Kepala pasukan memberi mereka tempat duduk, tapi Banyak Seta lebih suka pergi ke pagar sisi kanan yang menghadap ke wilayah yang dikuasai pasukan Kediri. Matanya awas meneliti permukaan sungai, terutama di dekat tebingnya, sekalipun hari masih gelap dan tidak terlihat apa pun selain kegelapan malam.
"Masih khawatir orang-orang Kediri menyerang dari seberang?" tanya Panji Patipati yang sejak tadi menangkap kegelisahan Banyak Seta.
Banyak Seta menggeleng. "Saya tidak khawatir soal itu. Kediri tidak punya kapal perang seperti ini. Andaipun mereka menyerang dengan mengirim perahu-perahu kecil untuk mengepung kita, warastra itu akan dengan cepat melumpuhkan mereka."
Kelulus itu dilengkapi dua meriam kecil yang disebut warastra[1] yang ditempatkan di haluan dan buritan. Senjata itu bisa melontarkan bola-bola besi, panah, atau tombak dalam jarak jauh.
Panji Patipati mengangguk. "Ya, saya juga berpikir begitu. Mereka prajurit yang dibesarkan di lereng gunung. Napasnya di dalam air tidak panjang. Tapi, apa yang membuat Raka terus mengawasi sungai?"
Mata Banyak Seta semakin sayu. Ia menjawab lirih, "Beberapa teman saya hilang dalam pertempuran di Kembangsri. Saya masih berharap bisa menemukan jenazah mereka. Siapa tahu terseret arus ke hilir dan mengapung."
Panji Patipati ikut merasa pilu. Ia tahu rasanya kehilangan pasukan dalam pertempuran. Anak buahnya semua tewas saat berusaha keluar dari Balai Manguntur. "Saya merasa bersyukur masih bisa melihat beberapa kenalan saya selamat. Salah satunya adalah Raka."
Banyak Seta terdiam karena bayangan Runi kembali mengapung di dalam benak. Perjumpaan dengan gadis itu sangat singkat. Dalam waktu yang sempit itu, ia telah mendapat pertolongan yang tidak sedikit. Runi bahkan memberikan nyawanya. Namun, ia belum sekali pun memperlakukan gadis itu dengan baik.
"Saya juga bersyukur karena masih diberi hidup. Tapi, ada beberapa hal yang saya sesali dan itu tidak ada obatnya," desah Banyak Seta.
Panji Patipati menoleh. "Maksudnya kesalahan?"
"Ya, kesalahan dan ...," Banyak Seta jeda sejenak untuk meredakan rasa nyeri di hatinya, "hutang budi yang tidak sempat dibayar."
☆☆☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...