Dyah Wijaya berkeliling mengecek persiapan pengiriman logistik untuk pasukan Singasari di Melayu dan Dharmasraya. Persiapan itu sangat penting mengingat beberapa waktu yang lalu Raja Kertanagara mempermalukan utusan Kubilai Khan dengan memotong telinganya. Sudah sangat jelas sikap sang raja terhadap Mongol. Singasari tidak akan tunduk pada kekuatan manca.
Selama ini, orang-orang tahu betapa kuat Mongol di bawah Kubilai Khan. Mereka menundukkan Cina dan mendirikan Dinasti Yuan. Mereka juga bergerak ke barat dengan menundukkan Persia dan sebagian Eropa. Selain itu, mereka menguasai Korea, Jepang, dan beberapa Asia Tenggara seperti Vietnam dan Campa.
Pergerakan pasukan Mongol itu tentu meresahkan Kertanagara. Apalagi kondisi dwipantara yang terdiri atas ribuan pulau dan terpisah lautan. Bisa dikatakan, sebagian besar luas wilayah Singasari adalah lautan. Jalur perdagangan saat itu adalah melalui Selat Malaka dan Laut Sulawesi. Sebagai raja, ia harus mengamankan pusat pemerintahan Singasari di Pulau Jawa dan menyejahterakan rakyat. Karena itu mengusai jalur perdagangan adalah mutlak dilakukan. Laut nusantara tidak boleh jatuh ke tangan asing. Konsep ini disebut sebagai mandala dwipantara. Yaitu penguasaan daerah-daerah di sekeliling Jawa demi kemakmuran rakyat dan keamanan negara.
Gudang senjata kerajaan yang berupa bangunan kayu luas terletak di pangkalan militer Singasari di dekat istana raja. Area itu dikelilingi pagar batu bata tinggi agar tidak mudah dipanjat dan dijaga ketat oleh pasukan khusus baik siang maupun malam. Begitu melihat calon penguasa Singasari memasuki gudang, seluruh prajurit dan perwira di tempat itu langsung bersimpuh dan memberi hormat.
Dyah Wijaya berjalan berkeliling di antara tumpukan tombak, tameng, golok, serta panah. Ia tampak menonjol di antara para prajurit karena kulitnya yang kuning langsat dan bersih, serta hidung mancung. Sepasang matanya lebar dan berbulu mata lentik. Tidak ada yang menyangkal bahwa Dyah Wijaya mewarisi rupa rupawan dari Ken Dedes yang termasyur itu. Selain terlahir tampan, ia satu-satunya di ruangan itu yang mengenakan hiasan dada lebar, menjuntai sampai ke ulu hati, serta bertabur permata. Gelang lengan, tangan dan kaki, serta hiasan pinggang pun dibuat khusus oleh pengrajin emas kerajaan sehingga ornamennya sangat detail dan halus. Sebuah tali badan—yang biasa disebut upawita—semakin menambah kewibawaannya. Namun, ada yang berbeda dari aura Dyah Wijaya kali ini. Air muka menantu Kertanagara itu terlihat keruh.
Kepala gudang, Nambi, dan Gajah Pagon mengiringi sambil menjelaskan kondisi persenjataan mereka. Dyah Wijaya mengamati dengan saksama senjata-senjata itu. Kilatan kemarahan sesekali memancar dari wajahnya. Walaupun tidak tanduknya masih tenang dan santun, semua orang yang berada di tempat itu merasakan awan badai datang melanda.
Dyah Wijaya mendesah dan berhenti di deretan meriam cetbang dari perunggu yang baru datang dari daerah Pamotan dan Wengker. Jumlahnya tidak sesuai perkiraan. Bahkan bukan cuma meriam, namun jumlah mata tombak dan mata panah pun tidak sesuai harapan. Hal itu membuatnya kecewa.
"Mengapa para pengrajin itu tidak bisa memenuhi jumlah pesanan kita? Padahal kita sudah memberi harga yang bagus dan waktu yang cukup," keluh Dyah Wijaya. Matanya yang sehari-hari menyorot teduh, kali ini berkilat tajam. Sangat jelas perkara pasokan senjata ini hal yang mahapenting.
"Ampun, Paduka," sahut Nambi. "Dari laporan pegawai yang hamba kirim untuk mengecek, mereka kekurangan bahan baku."
Tangan Dyah Wijaya terkepal. "Mana mungkin? Bukankah kita sudah membeli bijih timah, tembaga, dan besi sangat banyak dan mengirimkannya ke mereka?"
"Menurut penelusuran pegawai yang hamba kirim, bijih besi yang datang itu jelek. Hanya sebagian saja dari kiriman itu yang bisa dipakai," sahut Nambi.
Dyah Wijaya seorang yang tenang, namun bila mulai marah, akan tampak wujud aslinya yang garang bak singa. "Ini masalah besar, Nambi! Segera usut sampai tuntas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...