16. Pengintaian

208 47 25
                                    

Air yang muncrat ke udara kembali jatuh bak guyuran air terjun dan membasahi seisi perahu. Saat hujan buatan itu reda, Sarba dan Kambang bangkit dengan tubuh basah kuyup. Mereka langsung mengedarkan pandangan ke sekitar dan menemukan Banyak Seta tetap kering. Atasan mereka itu tengah memeriksa seorang penyerang yang tertinggal di perahu. Pemuda malang itu tergolek tak berdaya, namun masih bernapas. Ia hanya pingsan karena terkena hantaman tenaga dalam.

"Hei, hei, bangun!" Banyak Seta menepuk-nepuk pipi pemuda itu, namun tak ada reaksi.

"Mungkin dia terluka dalam, Tuan," ujar Sarba sambil menunjuk memar kebiruan besar di bagian dada.

"Ikat dia. Kita tanyai nanti setelah siuman," ucap Banyak Seta.

Sarba segera mengikat tangan dan kaki orang itu dengan tali, lalu membiarkannya terbaring miring di buritan perahu. Sementara itu, Kambang menemukan golok penyerang di haluan. Ia mengamatinya sambil duduk di haluan.

"Tuan, saya seperti pernah melihat jenis golok ini," ujarnya sambil masih memandangi golok musuh.

Banyak Seta dan Kambang mendatanginya. Kambang menunjukkan bekas tempaan di bagian pangkal dan punggung mata golok. Senjata yang baik seharusnya ditempa secara sempurna, lalu dihaluskan hingga rata dan mengkilap. Namun golok ini seperti dibuat dengan tergesa. Bagian yang halus dan mengkilap hanya berada di sisi tajam, sedangkan bagian pangkal dan punggungnya dibiarkan kasar.

"Hm, seperti dibuat dengan terburu-buru," sahut Banyak Seta.

"Benar, Tuan. Tapi walaupun begitu, besi yang digunakan termasuk sangat istimewa," sahut Kambang.

Banyak Seta meraih benda itu. Keningnya berkerut ketika mengamatinya. "Kamu benar. Besi seperti ini langka. Gurat-gurat tempaannya juga sangat mirip dengan mata tombak dan anak panah yang dibawa Kuwuk."

"Tuan, sepertinya senjata selundupan yang mendarat di Lasem sudah sampai kemari," ucap Sarba.

Banyak Seta mengangguk, lalu menghela napas panjang. "Kita harus memeriksa hutan di sekitar tempat ini."

"Siap, Tuan!" jawab Sarba. Ia menoleh ke Kambang. Maksudnya untuk menyuruh sang adik mendayung kembali. Namun, matanya tertumbuk pada robekan kain pembebat pinggang Kambang yang robek dan berdarah. Seketika, ia panik. "Kambang, kamu terkena senjata?"

Kambang melirik sekilas perutnya, lalu segera menutup luka itu dengan tangan sambil meringis. "Tidak apa-apa, Kakang." Setelah berucap, ia ambruk.

"Kambang!" seru Sarba dan Banyak Seta bersamaan. Mereka segera membalik tubuh Kambang yang tergolek meringkuk di lantai dan berniat memeriksa lukanya. Namun, Kambang menekan kuat-kuat luka itu dengan kedua tangannya.

"Kambang, bertahanlah," ucap Sarba. Ia menggeledah seisi perahu untuk mencari buli-buli tempat ramuan obat. Pertempuran tadi telah membuat isi kapal berserakan sehingga benda itu tercecer entah ke mana.

"Sial!" umpat Sarba.

Melihat Sarba yang sibuk mengurus adiknya, Banyak Seta duduk bersila di tengah perahu, lalu mengerahkan tenaga dalam untuk menggerakkannya. Perahu pun meluncur di permukaan air, menuju tepi sungai tempat gerombolan penyerang tadi bersembunyi.

"Kakang," panggil Kambang dengan suara lemah. "Aku mau minta sesuatu."

Sarba mendekati adiknya kembali. "Ya, katakan."

"A-apa aku boleh memiliki Nik?" bisik Kambang.

Sarba langsung mengangguk karena tidak tahan melihat adiknya sekarat. "Tentu saja. Kamu boleh meminang Nik setelah sembuh nanti. Bahkan kalau kamu mau Nok, ambil saja. Aku ikhlas."

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang