61. Tertangkap

192 56 43
                                    

Kaki Gayatri gemetar melangkah di antara pohon-pohon besar dan semak belukar yang ada di tepi pantai. Penyakitnya semakin menjadi. Sekarang malah muncul masalah baru, yaitu batuk dan tenggorokan panas. Kain tapih yang menyelimuti tubuhnya tidak sanggup menahan rasa dingin yang membuatnya menggigil.

Ponjol mengajak mereka menyelinap ke dalam hutan bakau di dekat tempat itu. Akan tetapi, Cupuk tidak dapat membayangkan junjungannya yang sedang demam harus masuk ke dalam hutan yang alasnya adalah rawa berair. Konon, di sela-sela akar bakau kerap terdapat ular beracun.

"Kita mencari gua saja," usul Cupuk.

"Hutan bakau lebih sulit ditembus pasukan berkuda. Kita akan lebih aman di sana," kilah Ponjol.

Cupuk hanya memberi kode dengan mengerling ke Gayatri yang tengah bersandar di batang nyiur. Cupuk sudah meminumkan air kelapa dan rebusan jamu yang dibeli di pasar Tawangalun, namun demam Gayatri tak kunjung reda. "Paduka Putri demam. Mana mungkin diajak masuk ke rawa-rawa?" bisiknya.

Ponjol tidak tega melihat kondisi junjungannya. "Sebaiknya kita mencari tabib."

"Di mana?"

Kedua abdi setia itu saling pandang. Ya, di mana mereka akan mendapatkan tabib bila desa terdekat telah dibumihanguskan?

"Ayo jalan ke arah timur. Siapa tahu ada desa di sana," usul Ponjol lagi.

Gayatri mengerang lirih mendengar usul itu. "Jangan ... jangan ke desa lagi. Mereka akan dibumihanguskan bila orang-orang Kediri tahu kita ke sana. Cukup sudah desa dan satu perguruan sudah menjadi korban. Mana bisa saya mengorbankan nyawa rakyat Singasari lebih banyak lagi?"

Cupuk segera mengelus tangan junjungannya. "Jangan menyalahkan diri sendiri, Paduka. Kematian mereka bukan salah Paduka, melainkan orang-orang Kediri yang bengis itu."

Gayatri menggeleng kecil sambil mengusap pipi yang sudah basah oleh air mata. "Jangan ke desa ... pokoknya jangan!"

Melihat Gayatri berkeras, Cupuk terpaksa mengangguk. Ia hanya bisa meringankan penderitaan sang junjungan dengan memijat bahunya.

"Kalau begitu, kita coba mencari gua di tebing sebelah selatan sana. Paduka dan Ni Cupuk bisa beristirahat sementara saya mencari obat." Ponjol mendahului kedua perempuan itu berjalan ke arah pantai.

Cupuk memapah Gayatri yang semakin lemah. Mereka menyusuri hutan menuju ke selatan. Beberapa kali mereka harus berhenti karena perut gadis itu mengamuk, memuntahkan apa saja yang ada di dalamnya. Putri bangsawan yang terbiasa hidup nyaman, serba bersih, dan mendapat hidangan yang penuh gizi, mendadak harus hidup terlunta-lunta dan makan seadanya. Jiwanya mungkin sekuat pohon nyiur yang tegak melawan badai, namun raganya tidak sanggup menerima perubahan yang terlampau mendadak itu.

Setelah berjalan sejauh dua ribu tombak, mereka akhirnya mereka berhasil menemukan pantai yang bertebing tinggi. Ketiganya turun ke pantai untuk mencapai tebing itu. Kaki mereka disambut pasir pantai yang abu-abu dan lembut, sementara tubuh mereka disapa cahaya langit yang telah berwarna jingga. Sebentar lagi matahari terbenam dan tempat itu menjadi gelap. Sebuah perlindungan yang sempurna.

Jalan menuju gua-gua di tebing pantai tidak rata. Banyak bebatuan besar terserak di jalur yang mereka lewati. Melihat Gayatri sudah tidak sanggup meloncat-loncat dari satu batu ke batu lain, Ponjol akhirnya menggendongnya di punggung.

"Bertahanlah sedikit lagi, Paduka. Di balik batu besar itu kita bisa bersembunyi," hibur Cupuk.

Baru saja mulut Cupuk terkatup, sebuah teriakan terdengar dari atas tebing. "Itu merekaaaa!"

Mereka kontan mendongak. Di atas tebing bermunculan puluhan lelaki-lelaki bersenjata tombak. Prajurit Ardharaja telah menemukan mereka!

Ponjol ingin berlari secepat mungkin, namun jajaran bebatuan itu menghalangi jalannya. Beberapa kali ia tersandung dan nyaris tersungkur. Ia sempat menengadah ke atas tebing. Ardharaja berdiri berdiri di sana, mengawasi mereka dari atas kuda.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang