48. Singasari Berduka

215 42 33
                                    

Hujan gerimis mengguyur ibukota Singasari dan sekitarnya sejak semalam. Lebih tepat bila dikatakan bekas ibukota karena apa yang dapat dilihat sejauh mata memandang adalah kehancuran. Tidak ada lagi keramaian di pasar karena semuanya telah dibakar oleh pasukan Kediri. Tidak ada lagi perumahan pegawai. Di tempat itu sekarang hanya tersisa puing-puing yang menghitam, bekas dimakan api. Begitu pula istana megah yang dulu menjadi simbol kejayaan Singasari, sekarang tersisa tembok-temboknya saja. Bangunan indah bertiang kayu ukiran sudah sirna, menyisakan asap, abu, serta arang.

Alun-alun kota sekarang dipenuhi kemah-kemah pasukan Kediri. Di salah satu kemah yang paling mewah, Kebo Mundarang menjalankan komando atas seluruh pasukan Kediri yang ikut serta dalam ekspedisi militer ini.

Tanpa menghiraukan gerimis yang mengguyur badannya, Kebo Mundarang berkeliling perkemahan prajurit untuk memeriksa kesiagaan pasukan. Di belakangnya, Pudot dan Bowong ikut melakukan pengawasan. Kedua panglima utama itu masih pucat dan berjalan tertatih akibat luka dalam yang belum pulih. Wajah mereka suram, semuram langit yang terus-menerus ditutupi mendung kelabu secara merata.

"Ada apa dengan kalian?" tegur Kebo Mundarang.

Dua panglima yang terlihat lemah hanya akan mengurangi semangat juang prajurit. Apalagi semua orang tahu keduanya dikalahkan oleh Banyak Seta dan menodai kebanggaan atas kemenangan Kediri. Karena itu, kekesalannya pada Pudot dan Bowong terus saja bergayut sampai hari ini.

"Tidur saja di kemah kalau masih belum kuat berdiri!"

"Ampun, Paduka. Hamba sudah sehat kembali," ucap Pudot. Namun, bibirnya gemetar, tak bisa berbohong.

"Kembali ke kemah, kataku!" sembur Kebo Mundarang.

Kedua panglima itu mau tak mau pergi dari hadapan Kebo Mundarang sambil menunduk. Mereka tidak sanggup menahan tatapan sang patih beserta para panglima lain.

Puas berkeliling perkemahan, Kebo Mundarang melangkah menuju pusat alun-alun. Di tempat itu, ia akan memperabukan putra dan keponakannya yang gugur dalam penyerbuan, yaitu Kebu Wungu, Kebo Sumurup, dan Kebo Wungkul. Kehilangan dua putra sangat memukul Kebo Mundarang.

Di tengah alun-alun, para prajurit dan orang-orang yang mereka tawan sebagai budak sedang mempersiapkan upacara pembakaran jenazah. Upacara itu hanya untuk anggota keluarga kerajaan yang wafat. Prajurit rendahan dan rakyat jelata mereka kubur. Jumlah jenazah terlalu banyak. Bila diletakkan begitu saja di pemakaman akan mendatangkan penyakit saat terjadi pembusukan. Begitu pula bila dibuang ke sungai, ribuan mayat membusuk itu akan meracuni air. Padahal semua orang menggunakan air itu untuk kehidupan sehari-hari. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menguburnya dalam lubang-lubang besar di pinggiran kota.

Kebo Mundarang berhenti di depan jajaran tumpukan kayu bakar yang sedang ditimbun oleh para pekerja. Pandangannya melayang ke tempat pembakaran Kertanagara dan permaisurinya. Jenazah kedua orang itu diletakkan di sebuah panggung kayu beratap dan berhias kain putih. Bentuknya seperti istana mungil yang megah. Jayakatwang telah berpesan untuk memberikan upacara perabuan yang layak bagi raja terakhir Singasari itu. Bukan karena Kertanagara adalah kakak istrinya, Nararya Turuk Bali, melainkan karena malam-malamnya dihantui rasa ketakutan akan hukum karma yang menyesakkan.

Kebo Mundarang menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan cepat. Suasana alun-alun ini teramat muram, sekalipun mereka adalah pasukan pemenang. Ia tahu sumber segala suasana aneh ini adalah deretan jenazah raja, permaisuri, dan para petinggi Singasari. Ia tak pernah menyangka pengaruh Kertanagara masih begitu kuat walaupun sang raja hanya tersisa jasadnya saja. Mungkin alam nyata dan gaib sedang menangisi keruntuhan Singasari.

Dari sudut lain alun-alun, seorang perempuan tua yang kurus dan berpakaian lusuh berjalan tertatih menuju tumpukan kayu bakar. Tangannya menenteng ember kayu. Ia berhenti di depan tempat pembakaran Kertanagara, lalu bersimpuh dan menangis melolong-lolong.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang