64. Sumenep

218 51 33
                                    

Gayatri tiba di kediaman Arya Wiraraja keesokan hari, menjelang petang. Kedatangannya disambut isak tangis Tribhuwana, Dyah Duhita, dan Prajna Paramita yang langsung membawa sang adik beristirahat di keputren. Dyah Wijaya yang selama hujan tangis itu hanya tersenyum-senyum, mengajak Panji Patipati dan Banyak Seta ke pendopo untuk mengikuti rapat bersama para panglima.

"Kita selesaikan kesepakatan penting dulu, setelah itu kalian bisa beristirahat," ucap sang pangeran.

Bersama Arya Wiraraja, ketiganya menuju pendopo di tengah kompleks kediaman sang bupati. Tempat itu dijaga oleh pengawal Arya Wiraraja untuk menjamin pembicaraan mereka tidak akan didengar oleh orang luar.

Melihat dua juniornya datang dalam keadaan hidup dan masih bisa berjalan tegak, Gajah Pagon dan Nambi turun dari pendopo dan langsung memeluk Banyak Seta dan Panji Patipati.

"Syukurlah kalian selamat!" ucap Nambi.

"Ayo segera ke pendopo. Kalian pasti haus dan lapar. Di sana ada air kelapa muda dan wajik buatan Paduka Tribhuwana dan adik-adiknya," imbuh Gajah Pagon.

Suasana pendopo sejenak menjadi ramai karena kedatangan Banyak Seta dan Panji Patipati. Dari balai-balai tempatnya duduk, Dyah Wijaya membiarkan para panglima itu melepas kekhawatiran dengan bercanda dan tertawa lepas. Apalagi yang bisa ia berikan selain kelonggaran sederhana ini?

"Patipati, bagaimana kalian bisa menemukan Paduka Gayatri secepat itu?" bisik Gajah Pagon.

Panji Patipati hanya meringis, lalu menunjuk Banyak Seta dengan ibu jari. "Silakan Raka bertanya pada beliau."

"Sudah kuduga!" seru Gajah Pagon, yang langsung disambut tawa geli para panglima yang lain.

"Itu hanya keberuntungan, Raka." Banyak Seta mengakui dengan jujur sambil salah tingkah. Semesta telah memudahkan mereka untuk berjumpa.

"Hubungan batin memang tiada duanya!" celetuk Nambi, membuat wajah Banyak Seta semakin merah padam.

Dyah Wijaya membiarkan mereka menyantap wajik dan pisang kukus sampai dirasa cukup untuk melepas ketegangan.

"Baiklah, kita lanjutkan pembicaraan tadi. Sampai di mana kita, Nambi?"

Para panglima serentak memasang wajah serius. Nambi berpindah duduk ke depan agar lebih mudah menjawab. "Sampai pada rencana untuk mengunjungi Kediri, Paduka."

Dyah Wijaya mengibaskan tangan sambil tersenyum lebar. "Berkunjung? Halus sekali perkataanmu, seolah-olah aku akan pergi berwisata. Pakailah bahasa lugas saja."

"Ehm, baik, Paduka. Pembicaraan kita tadi tentang menyatakan takluk pada Kediri." Nambi mengoreksi kalimatnya dengan agak ragu. Jujur, bibirnya kebas saat mengucapkannya.

"Seta, kamu satu-satunya yang baru mendengar rencana itu. Semua panglima di sini sudah menyampaikan pendapatnya. Aku juga ingin mendengar pendapatmu," ucap Dyah Wijaya.

"Ampun, sejujurnya hamba cukup kaget, Paduka," sahut Banyak Seta sambil menunduk hormat.

"Mengapa kaget? Kamu berpikir kita berkumpul di sini untuk membangun pasukan tempur?"

"Benar, Paduka. Maafkan hamba yang bodoh ini."

"Berperang merebut kekuasaan Kediri adalah salah satu pilihan yang sempat kupikirkan," sahut Dyah Wijaya dengan suara lembut yang justru memancarkan kewibawaannya. "Akan tetapi, perlu waktu bertahun-tahun dan biaya besar untuk membangun angkatan perang yang bisa menandingi mereka."

"Ada rencana apakah di balik pengakuan takluk itu?" Banyak Seta mulai menduga-duga isi pikiran junjungannya.

Melihat perubahan mimik muka anak buahnya, Dyah Wijaya girang. "Nah! Wajahmu berseri, Seta. Apakah kamu sepemikiran denganku?"

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang