Gayatri bersimpuh di lantai ruang tengah kediamannya. Ia merasa seperti pesakitan yang dijatuhi hukuman. Dyah Wijaya telah memerintahkan agar dirinya tidak keluar tanpa izin untuk waktu yang tidak terbatas. Hal itu berarti ia menjadi tahanan rumah. Rasanya, dada Gayatri ingin meledak. Namun, ia sadar hal itu tidak mungkin dilakukan. Amarah hanya akan memperburuk keadaan.
Ketiga kakak Gayatri—Tribhuwana, Dyah Duhita, dan Prajna Paramita—duduk di balai-balai. Wajah mereka muram, terutama Tribhuwana. Sebagai sulung dari empat bersaudara, ia memikul beban terbesar untuk mendidik dan mengarahkan adik-adiknya. Hanya Prajna Paramita yang terlihat tenang dan masih bisa tersenyum.
"Dinda, jujurlah. Apa benar Dinda mengirim surat kepada Panglima Seta dan mengajaknya bertemu?" tanya Tribhuwana. Kalimatnya sangat kental dengan keprihatinan. Ia tahu Gayatri memang sering membantah, namun tidak menyangka akan bertindak sejauh itu terhadap seorang lelaki.
Gayatri bungkam. Ia tidak mungkin menyangkal telah mengirim surat. Setidaknya bila niat itu berasal dari dirinya, Banyak Seta tidak akan terlalu disalahkan.
Sebaliknya, bila mengakui telah mengirim surat kepada Banyak Seta, alasan apa yang harus ia sampaikan sebagai pembenaran mengundang seorang lelaki untuk berjumpa diam-diam?
Tribhuwana mengulurkan bungkusan kain sutra berisi hiasan tusuk sanggul dan surat Gayatri. "Ini milikmu, Dinda?"
Gayatri mengangguk lemah. "Benar, Yunda."
"Dinda memanggil Panglima Seta dengan sebutan Kanda?" tanya Duhita.
Gayatri menghela napas dalam sebelum menjawab lirih, "Benar, Yunda."
Ketiga kakaknya saling pandang, lalu sama-sama mengembuskan napas.
"Bagaimana bisa begini? Dinda sudah menjadi tunangan Kanda Wijaya," keluh Tribhuwana.
Gayatri masih diam. Bila harus mengakui rasa cintanya, ia tidak keberatan. Namun bagaimana bila ketiga kakaknya mencurigai hal lain? Ia hafal benar apa yang ia tulis di selembar dluwang itu. Kekhawatiran itu segera menjadi kenyataan.
"Dinda, katakan hal rahasia apa yang Dinda ingin bicarakan dengan Panglima Seta?" tanya Duhita.
Otak Gayatri berputar mencari alasan. Ia tidak mungkin mengingkari janji kepada ayahnya dengan membocorkan rahasia Sandyasa Lebu. Rahasia itu hanya boleh diberikan kepada orang yang ia percaya. Dan, lelaki pilihan itu adalah Banyak Seta. Ia meminta Banyak Seta bertemu untuk memberitahukan isi Sandyasa Lebu padanya.
Karena itu, begitu mendapat kabar Banyak Seta telah memasuki gerbang ibukota, ia mengutus Candil untuk menunggu dan menyampaikan suratnya. Seharusnya, mereka berjumpa pagi ini di perpustakaan istana. Bagaimana mungkin ia dan Banyak Seta justru terdampar di gudang asing itu?
Gayatri hanya menemukan satu kemungkinan yang masuk akal. Suratnya telah diambil alih oleh orang lain. Candil menghilang, begitu pula Seni. Salah satu dari mereka pasti merupakan anggota komplotan yang memfitnah Banyak Seta dan dirinya.
Firasat akan adanya masalah yang sangat pelik membuat Gayatri menutup rapat informasi itu bagi dirinya sendiri.
"Tidak ada hal penting, Yunda. Saya hanya ... rindu." Gayatri terpaksa membuat alasan sederhana ini.
"Rindu??" Ketiga kakak Gayatri terpekik bersamaan.
"Benar, Yunda." Gayatri mengangguk mantap. Biarlah. Pengkhianatan cinta lebih bisa dimengerti daripada pengkhianatan rahasia negara.
"Dindaaa!" rintih Tribhuwana. Ia nyaris menangis menyaksikan adiknya terpeleset ke dalam jurang kenistaan. "Dinda sekarang sudah menjadi seorang wanita dewasa. Jangan lagi bermain-main api, Dinda!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...