Bersamaan dengan rombongan Banyak Seta menyeberangi Sungai Porong, Dyah Wijaya dan pasukannya telah bergerak keluar dari Pamwatan Apajeg ke arah barat laut, menuju Terung. Tadi pagi, begitu matahari terbit, musuh menyergap dari arah selatan. Rupanya, semalam mereka diam-diam menyeberang dari Rabut Carat dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Pertempuran kembali pecah di selatan desa Pamwatan Apajeg. Dyah Wijaya dan pasukannya mundur ke desa itu setelah berhasil menghalau musuh. Namun, pertempuran kali ini kembali memakan korban. Sebagian prajurit gugur. Sebagian lagi, masih terpengaruh pembelotan Ardharaja dan setengah hati mengikuti Dyah Wijaya. Pertempuran di Pamwatan Apajeg itu membuat mereka yakin bahwa mereka pasti gugur bila tidak segera kabur. Puluhan pengecut itu lantas menghilang diam-diam, mencari selamat sendiri-sendiri. Karena kerugian besar itu, Dyah Wijaya memutuskan beristirahat sejenak sambil mengatur strategi baru dengan para panglimanya. Hasil pertemuan itu adalah menyusup ke Terung melalui Kulawan pada malam hari.
Pasukan yang tinggal lima ratus orang itu menyusup hati-hati di antara pepohonan hutan. Kegelapan malam menjadi pelindung mereka. Obor yang mereka gunakan sebagai penerangan sangat dibatasi jumlahnya, itu pun berupa suluh atau bara api dari sabut kelapa. Perlahan, mereka memasuki wilayah Kulawan tanpa kesulitan apa pun.
Seorang prajurit pengintai kembali dari baris depan. Pemuda itu tergopoh menghadap atasannya, Lembu Sora.
"Di depan terdapat banyak musuh, Tuan Panglima!" lapornya sambil membungkuk hormat.
"Berapa banyak?"
Tangan prajurit itu terlihat gemetar. "Sangat banyak, Tuan. Sepertinya lebih dari seribu orang."
"Seribu? Di mana letak pasukan itu? Masih jauhkah dari kita?"
Prajurit itu mengambil ranting kering, lalu menggambar peta ala kadarnya di permukaan tanah. Para panglima lain, termasuk Dyah Wijaya, turun dari kuda dan ikut melihat peta yang dibuat si prajurit. Dari petunjuk itu, musuh agaknya masih cukup jauh.
"Bagaimana menurut Paduka?" tanya Lembu Sora kepada Dyah Wijaya. "Hamba yakin lima ratus pasukan kita bisa mengalahkan seribu orang. Prajurit kita yang tersisa ini lebih separuhnya adalah pasukan khusus didikan Banyak Seta. Kita semua tahu seperti apa kemampuan mereka."
Nambi justru memikirkan hal lain. "Ampun, Paduka. Hamba justru melihat ada yang tidak beres. Bukankah terlalu mudah kita maju sampai tempat ini? Hutannya terlalu sunyi. Mengapa tidak ada satu pun pasukan musuh?"
Panglima yang lain langsung mengangguk, membenarkan pengamatan Nambi.
"Ya, aku juga merasakan hal yang sama," sahut Dyah Wijaya. "Apa saranmu, Nambi?"
"Lebih baik kita memutar ke utara. Bila terjadi sesuatu, kita bisa menyeberangi Sungai Brantas. Hamba yakin wilayah di utara sungai masih setia kepada Paduka," usul Nambi.
"Apakah itu tidak terlalu jauh?" tanya Rangga Lawe. "Kalau ingin mencari bantuan, Terung paling dekat."
"Memang benar Terung paling dekat, Raka," sahut Nambi. "Tapi bila melihat ada musuh di antara kita dan Terung, saya khawatir Rakryan Wurwagraja telah dilumpuhkan."
"Mohon izin memberi usul, Paduka." Gajah Pagon menyela. "Hamba merasa Raka Nambi benar. Jalan menuju Terung terasa terlalu mudah. Hamba hampir yakin ini sebuah perangkap."
"Pagon, kamu terlalu meremehkan pasukan kita. Biarpun ada perangkap, mereka cukup kuat untuk melawan seribu orang," bantah Rangga Lawe yang kesal karena usulnya dibantah sang junior.
Gajah Pagon berpaling ke Rangga Lawe yang perangainya memang cenderung kasar dan tanpa basa-basi, bahkan sering grasa-grusu. Ia harus sabar bila menghadapi pemuda ini. Hanya saja, kesaktian dan kesetiaannya kepada Dyah Wijaya tidak diragukan sehingga sang pangeran mempertahankan Rangga Lawe sebagai panglima. (ceroboh, kurang pertimbangan)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...