Istana kediaman Dyah Wijaya terletak di sisi timur kompleks istana Singasari. Halamannya berpagar tembok bata merah. Gerbang masuknya berupa gapura bentar yang menjulang anggun. Memang tidak semegah gapura utama tempat kediaman Raja Kertanagara, namun tetap saja terlihat sangat indah. Sebagai menantu utama dan calon pemimpin Singasari masa depan, Dyah Wijaya berhak mendapat perlakuan istimewa.
Setelah dipersilakan masuk oleh penjaga gerbang, Gayatri membiarkan emban-embannya merapikan rambut dan pakaian. Setelah itu, ia menegakkan tubuh dan menapaki halaman dengan langkah lebih perlahan. Kalau saja tidak malu pada Dyah Wijaya, ia lebih senang berlari saja ke pendopo.
Halaman kediaman Dyah Wijaya rindang berkat naungan pohon sawo, kepel, mangga, dan kelapa gading. Di bawahnya berbagai bunga mengelilingi kolam ikan berbentuk segiempat yang di salah satu sisinya terdapat deretan patung kepala naga berbadan ikan yang memancarkan air dari mulutnya. Air merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan dari sendi-sendi kehidupan masyarakat Singasari. Air memberi hidup dan menyucikan segala nista dunia. Air yang mengalir juga melambangkan kesuburan dan berkah dari Sang Pemilik Semesta. Karena itu, di kediaman keluarga raja, selalu ada kolam air mancur.
Di depan tangga naik ke pendopo, Gayatri telah melihat wajah calon suaminya. Pangeran muda itu duduk bersila di balai-balai. Tidak seperti biasa, kali ini Gayatri menemukan Dyah Wijaya tengah sendiri, hanya ditemani oleh dua abdi yang menunggu di depan pendopo. Padahal, lelaki itu selalu membuat dirinya dikelilingi para panglima andalan, seperti Lembu Sora, Rangga Lawe, Nambi, Mahisa Pawagal, Dangdi, Pamandan, Banyak Kapok, dan tentu saja, lelaki kesayangan Gayatri, Banyak Seta. Sepertinya, Dyah Wijaya sengaja menyepi karena tengah mempelajari sesuatu. Beberapa gulungan lontar terbuka di depannya. Beberapa lagi menumpuk di sisi kiri dan kanan tempat duduk.
Melihat wajah Dyah Wijaya yang tenang, Gayatri mencibir diam-diam. Apa kata ayahandanya tentang lelaki ini tempo hari? Ayahandanya tidak tahu bagaimana perilaku Dyah Wijaya saat tidak menghadap dirinya. Di mata Gayatri, Dyah Wijaya hanya berwibawa saat tidak bersuara. Struktur wajah Dyah Wijaya memang mendukung untuk menciptakan kesan damai. Mata lebarnya menyorot lembut, berbanding terbalik dengan mata elang Banyak Seta. Senyum manis selalu tersungging di bibir kemerahan yang cantik, mirip bibir wanita. Alisnya tipis dan membentuk garis lengkung yang rapi. Tidak seperti alis Banyak Seta yang tebal dan berkesan garang. Pantas saja ayahandanya menyebut Dyah Wijaya sebagai lelaki yang teduh, sabar, bijak, hati-hati dalam bertindak, dan lemah lembut. Ayahandanya pasti tertipu oleh penampilan luar itu.
Gayatri mengenal dengan baik keseharian Dyah Wijaya. Memang benar, lelaki itu cerdas. Namun, perilakunya menjengkelkan. Ia sulit diajak serius dan lebih senang menanggapi segala sesuatu dengan bercanda.
Setelah terbangun dari mimpi buruk semalam, Gayatri terus memikirkan tentang Sandyasa Lebu. Ia merasa harus memberi tahu seseorang tentang tulisan rahasia itu. Sejenak, ia sempat ragu tentang siapa yang layak untuk mengetahui isinya. Hatinya ingin menyebut nama Banyak Seta, namun setelah merenungkan dalam-dalam, ia memutuskan untuk menjumpai Dyah Wijaya.
Wijaya rupanya mengetahui kehadiran calon istrinya. Ia mendongak dan senyumnya langsung terkembang.
"Dinda!" panggilnya nyaring.
Gayatri mengeluh dalam hati. Cih, seperti memanggil orang dari seberang alun-alun saja. Mana sifat lemah lembutnya?
Dyah Wijaya menyingkirkan semua lontar yang terhampar di depannya ke samping, lalu memperbaiki posisi bersilanya.
"Dinda Gayatri! Pantas saja Kanda mencium aroma wangi saat angin berembus. Ternyata itu pertanda kedatangan Dinda!" sambut Dyah Wijaya dengan gegap gempita. Ia tidak merasa perlu menunggu Gayatri sampai di hadapannya untuk mengajak gadis itu bicara. Padahal menurut adat istiadat, seharusnya Gayatri dibiarkan duduk dulu, menghaturkan sembah, baru memulai percakapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...