33. Berterus Terang

194 50 16
                                    

Suasana penjara yang dingin dan gelap tertepis oleh bara kerinduan yang membuncah di dada Gayatri. Dipandu oleh dua orang punggawa yang membawa obor, gadis itu melangkah cepat dan panjang-panjang hingga perhiasan dada dan pinggangnya, serta gelang tangan dan kaki gemerincing nyaring. Hati Dyah Wijaya yang mendampinginya ikut memanas pula.

"Jangan berlari, Dinda, nanti tersandung. Banyak Seta tidak akan ke mana-mana," cegah Wijaya sambil mengelus dada diam-diam.

Gayatri menoleh dan seperti tidak terima. "Apa yang membuat Kanda yakin? Kakang Seta adalah murid utama Mpu Nadajna. Dia bisa kabur dari penjara dengan mudah. Jangan-jangan...."

Gayatri menghentikan langkah dan menatap tajam calon suaminya sehingga lelaki tampan itu mengerutkan kening.

"Apa yang kaupikirkan?" tanya Wijaya.

"Kanda sudah menyiksanya!" tuduh Gayatri.

"Duh, Dinda. Aku cuma memerintahkan penjaga untuk mengikat tangan dan kakinya. Itu saja. Nanti kaulihat sendiri apakah ada bekas pukulan di tubuh Seta."

Gayatri melengos dan melanjutkan langkah sampai akhirnya tiba di sel Banyak Seta dan kedua abdinya. Saat itu, Banyak Seta masih duduk bersila dalam posisi bersemadi di dinding belakang sel. Tahu ada orang datang, ia membuka mata dan terkejut saat melihat siapa yang datang.

Gayatri langsung mendekat ke jeruji besi dan bersimpuh di dekat pintu. "Kakang Seta!"

"Ah?" Seolah tak percaya dengan matanya sendiri, Banyak Seta menggumamkan nama gadis yang dirindukannya, "Paduka Gayatri ...."

Banyak Seta segera mendekat dan menghaturkan sembah, diikuti oleh Sarba dan Kambang. Melihat Dyah Wijaya tengah mengawasi dirinya dengan wajah kusut, ia merasa tidak enak. "Ampun, Paduka."

Dyah Wijaya mendengkus. "Tidak perlu memohon ampun, Seta. Apa salahnya seorang tahanan dijenguk oleh gadis yang merindukannya siang dan malam?"

Banyak Seta langsung bersujud karena merasa bersalah. "Ampun, Paduka."

Pandangan Wijaya beralih ke calon istrinya. Ia menemukan air mata meleleh di pipi gadis itu. "Dinda sudah melihat sendiri kondisi Seta. Dia baik-baik saja dan bahkan tidak terikat. Berhentilah menangis."

Gayatri tidak sempat mendengarkan perkataan Dyah Wijaya. Seluruh perhatiannya tertuju Banyak Seta yang terlihat menyedihkan. Seluruh perhiasannya dilucuti. Rambut panjangnya tergerai acak-acakan sampai ke punggung. Raut tampan itu terlihat lelah.

"Kakang terluka?" tanya Gayatri. Suaranya serak karena berusaha menahan tangis. Usaha itu sia-sia. Begitu selesai berucap, tangisnya pecah.

"Tidak, Paduka," jawab Banyak Seta. Ia tidak berani mengangkat wajah dan cukup puas memandangi jemari lentik Gayatri yang tengah mencengkeram jeruji besi. Jemari dan lengan itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia lihat. Apa yang terjadi pada junjungan hatinya ini?

"Seta baik-baik saja, Dinda." Wijaya menyela.

"Mereka tidak menyiksamu atau memberimu racun?" tanya Gayatri lagi. Mulutnya benar-benar asal bicara.

"Sama sekali tidak, Paduka," jawab Banyak Seta.

"Ya ampun!" keluh Wijaya. "Sudah aku katakan sejak tadi, Seta baik-baik saja, Dinda. Yang bernasib malang adalah delapan prajurit nahas itu." Wijaya menunjuk jajaran jenazah di dekat pohon beringin.

"Ah!" Gayatri yang mengikuti arah telunjuk Wijaya kontan memekik horor. "Kenapa mereka, Kanda?"

"Tanyakan itu pada Seta. Pasti dia ada hubungannya dengan kejadian ini. Buktinya ikatan Seta bisa terlepas sendiri." Wijaya cukup puas karena Gayatri terlihat melunak dan agak bimbang.

"Karena itu, Dinda, tolong segera tuntaskan rasa rindumu dan kembalilah ke keputren," lanjut Wijaya lembut, disertai senyum karismatiknya.

Wajah tenang Wijaya justru membuat Gayatri merasa sungkan. Apalagi Wijaya bolak-balik mengungkit tentang rindu. Pasti alasannya berkirim surat kepada Banyak Seta telah didengar oleh lelaki itu.

"Kanda, saya akan berterus terang tentang sesuatu," ucapnya lirih. Dengan kerlingan kecil, ia memberi kode agar Wijaya memerintahkan anak buahnya menyingkir.

Wijaya memenuhi permintaan tanpa kata itu dan memastikan para punggawa yang mengiringi mereka menyingkir cukup jauh.

"Sekarang katakan masalah apa yang akan Dinda bicarakan?" ucap Wijaya lagi. "Tapi, jangan membuatku terlihat menyedihkan. Simpanlah rasa di hatimu rapat-rapat bila kita sedang bersama, Dinda."

Kalimat Wijaya yang diucapkan dengan ringan dan berbau candaan itu menusuk perasaan Banyak Seta. Ia seperti diingatkan secara halus bahwa Gayatri adalah milik lelaki itu.

"Saya tidak membahas perasaan, Kanda!" tukas Gayatri. "Ini tentang surat saya tempo hari. Saya telah berbohong tentang alasan saya mengirimnya."

Mata Wijaya melebar. "Oh, alasannya bukan karena merindukan Seta?"

Sekali lagi, nada riang Wijaya mencubit hati Banyak Seta. Ya, ia harus tahu di mana tempatnya. Jangan sampai ia menjadi anak bebek yang berharap terbang seperti rajawali.

"Alasan utamanya adalah persoalan genting yang ingin saya perjelas. Dan satu-satunya cara adalah menanyakannya kepada Kakang Seta," ucap Gayatri sambil melirik Banyak Seta. Ia tidak ingin menyangkal bahwa selain karena saran Mpu Sambi, ia juga merindukan panglima paling tampan di pasukan elite ini.

Wijaya sangat memahami makna di balik perkataan Gayatri. Biarpun begitu, ia masih bisa berpikir jernih dan memilih mengutamakan kepentingan negara.

"Baiklah. Apa alasan Dinda yang sebenarnya?"

Gayatri membeberkan tentang pesan Mpu Sambi dan berbagai informasi yang ia ketahui. Ia berbicara sangat pelan agar tidak ada orang selain Wijaya dan Seta mendengarnya. Di sepanjang penuturan Gayatri, wajah Wijaya tegang.

"Mungkinkah seperti itu, Dinda?" Wijaya masih belum yakin, walau ia sendiri juga menemukan berbagai keanehan di istana ini.

"Kanda bisa membuktikannya dengan penyelidikan lebih lanjut," saran Gayatri.

"Ampun, Paduka." Banyak Seta menyela pembicaraan kedua bangsawan itu. "Hamba telah melihat buktinya dengan mata kepala hamba sendiri."

Gayatri dan Wijaya serempak berpaling ke Banyak Seta.

"Apa yang kautemukan?" tanya Wijaya.

Banyak Seta melaporkan semua yang ia ketahui selama perjalanan ke selatan. Termasuk kemungkinan penyusupan musuh di antara pasukan elite Dyah Wijaya. Hal itu semakin membuat Wijaya ternganga.

"Gajah Wilis terlibat? Apakah Nambi juga termasuk orang mereka?"

"Ampun, Paduka. Hamba tidak yakin, tapi tidak ada salahnya Paduka memeriksa kembali latar belakang dan keterkaitan semua pimpinan dan anggota pasukan kepercayaan Paduka," saran Banyak Seta.

Napas panjang yang berat terembus dari hidung Dyah Wijaya. Dalam benaknya, tergambar bayangan hitam yang akan sangat sulit untuk diurai. Ia tidak boleh mempercayai siapa pun, termasuk Gayatri.

"Tunggu dulu, Seta. Sebelum menuduh orang lain, coba kaujelaskan mengapa delapan prajurit itu terbunuh?" cecar Dyah Wijaya.

Banyak Seta tertegun. Ia tidak tahu apa-apa tentang gadis bertapih biru selain bukti bahwa gadis itu berniat membantunya.

"Yang hamba ketahui hanyalah orang itu seorang gadis, bertapih biru, dan sangat mahir memanah, Paduka. Selain itu hamba tidak tahu apa-apa. Jangankan asal usul dan siapa yang mengutusnya, namanya saja hamba tidak tahu."

Wijaya mengerang lirih. "Teka-teki apa lagi ini? Aku khawatir seseorang telah membuat jebakan besar."


=Bersambung=

Wijaya percaya nggak ya?
Yuk tulis pendapatmu di kolom komentar

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang