Selamat dari dua kali percobaan pembunuhan, rombongan Banyak Seta melanjutkan pengintaian lebih jauh ke dalam hutan. Perjalanan itu mereka lakukan dengan sangat hati-hati. Berkat bantuan Pulung, mereka menemukan tempat pelatihan prajurit rahasia di dekat kaki Gunung Kelud.
Orang yang membuat kamp pelatihan itu sangat cermat memilih lokasi yang sulit ditemukan. Untuk mencapai daerah itu, mereka harus menembus hutan perawan penuh pohon-pohon besar yang oleh masyarakat setempat dianggap angker. Hanya orang yang punya niat khusus saja yang mau nekat memasuki daerah kekuasaan para kala penjaga gunung.
Rapatnya perdu dan pepohonan membuat pergerakan Banyak Seta dan anak buahnya cukup tersendat. Mereka harus memotong dahan dan ranting agar bisa lewat. Barulah setelah seharian bergerak, mereka menemukan celah di antara tetumbuhan, bekas dilalui orang-orang.
"Bekas orang lewat ini terlalu banyak untuk ukuran jalan setapak, Tuan," ucap Kambang setelah menemukan banyak jejak kaki di tanah.
Banyak Seta merasakan firasat buruk lagi. Jangan-jangan, pasukan itu telah mulai bergerak. "Cepat, kita harus sampai di tempat itu sebelum gelap!"
Keempat orang itu bergerak secepat mungkin. Tak lama kemudian, kawasan angker terlewati. Mereka kini menemukan area yang hutannya telah dibabat. Pohon-pohon telah diganti dengan bangunan dari kayu dan bambu. Belasan barak tempat tinggal prajurit berjajar mengelilingi lapangan rumput. Kamp itu sendiri dilindungi oleh pagar bambu. Melihat luasnya, Banyak Seta memperkirakan sekitar lima ratus orang bisa ditampung di tempat itu.
Mereka mengendap di dekat pagar yang terlindung oleh naungan pepohonan. Dari celah-celahnya, mereka mengintip kondisi di dalam kompleks. Sebentar saja, mereka mendapati kondisi yang aneh.
"Tuan, kompleks ini sudah kosong," bisik Sarba.
Banyak Seta segera menyuruh Kambang memeriksa kondisi kompleks. Sementara itu, Sarba mencengkeram lengan Pulung sambil mendelik.
"Kamu mempermainkan kami? Kenapa kamu mengajak kami ke tempat kosong ini?" sergah Sarba.
Wajah Pulung menjadi pucat pasi. "Ampun, Tuan. Saat saya dikirim untuk bertugas, tempat ini masih penuh dengan prajurit."
"Kamu tahu ke mana teman-temanmu pergi?" tanya Sarba lagi.
"Tidak, Tuan. Pemimpin kami hanya berkata bahwa kami akan diberi tahu ke mana harus pergi saat mendapat tugas," sahut Pulung.
"Lantas, di mana orang yang kamu panggil Tuan Waring itu tinggal? Di rumah tempat kakakmu terbunuh itukah?" tanya Sarba lagi.
Pulung menggeleng. "Saya tidak tahu. Tuan Waring tinggal di sini bersama kami dan melatih kami sehari-hari."
"Lalu, rumah siapa yang dia tempati di desa itu, ha?" desak Sarba.
Pulung kembali menggeleng. "Saya tidak tahu. Kami hanya diperintahkan datang ke sana setelah tugas selesai."
Sarba tidak percaya begitu saja. Dicengkeramnya leher pemuda itu hingga wajahnya memerah karena kesulitan bernapas. "Kamu kira kami bisa diperdaya begitu saja? Katakan semua yang kamu tahu, Bocah!"
Pulung tidak bisa menjawab karena lehernya tercekik. Ia hanya memberi gelengan kecil dan isyarat tangan.
"Sarba, lepaskan dia," ucap Banyak Seta. "Aku rasa, dia memang tidak tahu apa-apa."
Sarba melepaskan cengkeramannya. Begitu terbebas, Pulung langsung bersujud di depan Banyak Seta.
"Ampun, Tuan. Semua yang saya ketahui sudah saya sampaikan kepada Tuan," ucapnya dengan bibir gemetar.
"Ya sudah," ucap Banyak Seta. "Sarba, periksa sekeliling. Cari ke mana jejak-jejak itu mengarah."
Sarba mengangguk, lalu melesat pergi. Sementara itu, Kambang telah kembali dari memeriksa kondisi bekas kamp prajurit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...