15. Perkelahian di Perahu

210 48 13
                                    

Sungai Brantas di kala senja yang biasanya tenang dan lengang, mendadak bergolak riuh karena belasan pasukan tak dikenal yang tiba-tiba menyerang perahu Banyak Seta. Sepertinya, mereka tidak ingin peristiwa ini diketahui banyak orang sehingga sengaja memilih tempat yang sunyi dan jauh dari pedesaan. Di kedua sisi sungai hanya ada hutan rimba dengan pohon-pohon tinggi yang terlihat angker. Sangat kecil kemungkinan ada manusia di sana sehingga saksi utama dari kejadian ini hanyalah monyet-monyet. Binatang primata itu riuh menjerit-jerit saat tahu terjadi pergolakan di tengah sungai.

Orang-orang tak dikenal itu sebagian mendorong perahu dari sisi kanan. Sedangkan dari sisi kiri, beberapa pasang tangan berusaha meraih pinggiran sampan dan menariknya ke bawah. Tak ayal, sampan kecil itu pun miring ke sisi kiri, nyaris terbalik.

"Pertahankan perahu!" seru Banyak Seta. Sarba dan Kambang meloncat ke sisi kanan untuk menyeimbangkan perahu.

Banyak Seta sendiri segera mengerahkan tenaga dalam ke kaki. Dengan sebuah sentakan keras, dijejaknya lantai perahu. Kekuatan itu berhasil membuat perahu kembali ke posisi datar, sehingga tidak jadi terbalik. Kesempatan sempit itu memberi celah bagi Banyak Seta untuk menyerang balik. Dengan secepat kilat, ia mengayun tombak ke orang-orang yang menarik perahu di sisi kiri.

"Aaaargh!"

Terdengar erangan kesakitan, disusul tubuh yang hanyut ke hilir dengan darah membual ke air. Satu penyerang berhasil dilumpuhkan. Namun, seorang lagi mengayun golok ke batang tombak Banyak Seta. Batang bambu itu pun patah menjadi dua.

"Sial!" umpat Banyak Seta sambil membuang potongan bambu yang dipegangnya. Ia terpaksa membungkuk sejenak untuk menarik tombak bermata besi dan bergagang kayu jati dari tempat penyimpanannya. Saat berangkat tadi, mereka sengaja memisahkan  mata tombak dari tangkainya agar tidak menarik perhatian. Saat telah berada di perahu, senjata-senjata pusaka itu disatukan kembali.

Tahu lawannya tengah kehilangan senjata dan sedikit lengah karena mengambil tombak, dua orang meloncat naik ke perahu, langsung mengayun golok ke tubuh Banyak Seta. Pemuda itu sudah tahu akan terjadi serangan ini. Karena tangan kanan sedang meraih tombak, ia menggunakan tangan kiri yang memegang keris untuk menghadang lawan. Keris sakti Banyak Seta memang lebih kecil dan lebih pendek dari kedua golok lawan, namun kekuatan di dalamnya bukan sembarangan.

Trang!

Bunyi logam yang beradu mengisi udara saat dua mata golok berbenturan dengan keris Banyak Seta. Bunga api pun memercik. Kedua penyerang terbelalak saat sadar sabetan keris itu telah membuat golok mereka patah. Belum sempat mengatasi kekagetan, tangan kanan Banyak Seta mengayun tombak. Satu orang langsung ambruk dan jatuh ke sungai setelah dadanya tertusuk. Detik berikutnya, Banyak Seta menyasar kepala orang yang satu lagi dengan tendangan maut. Orang itu pun langsung roboh dan tercebur ke sungai.

Sarba dan Kambang membabat penyerang di sisi kanan. Dengan tombak besi bertangkai panjang, mereka bisa menjangkau orang yang berada di air sekaligus menangkis serangan golok mereka. Satu demi satu penyerang dilumpuhkan. Sayang, jumlah mereka terlalu banyak. Saat satu orang jatuh, seorang yang lain datang menyerbu. Bahkan pasukan yang semula bersembunyi di hutan, akhirnya terjun ke sungai membantu penyerangan. Mereka mengeroyok Sarba dan Kambang serta berusaha membalik perahu. Beruntung Banyak Seta mempertahankan sampan dengan tenaga dalam sehingga perahu itu bergeming di permukaan air, bak batu sungai yang tak bisa diguncang.

Beberapa orang berusaha naik ke perahu setelah tidak berhasil menenggelamkannya. Banyak Seta dan kedua anak buahnya berusaha menjatuhkan mereka dengan ayunan senjata, pukulan dan tendangan. Sayang, mereka kalah jumlah. Pasukan itu berhasil merangsek naik ke perahu. Banyak Seta, Sarba, dan Kambang akhirnya terdesak di tengah, sementara dua orang penyerang berada di depan dan tiga lagi di bagian belakang. Belum lagi, ada belasan lainnya berenang di sekeliling perahu dengan golok teracung, siap membabat tubuh musuh saat mereka jatuh ke sungai.

Seharusnya, perahu itu sudah tenggelam saat dimuati delapan orang. Namun berkat tenaga dalam Banyak Seta, perahu itu tetap berada di permukaan air. Pertahanan Banyak Seta malah mendatangkan keuntungan bagi musuhnya karena mereka bisa naik ke atas perahu. Situasi menjadi sangat genting. Sepertinya, tinggal menunggu waktu sebelum Banyak Seta dan kedua anak buahnya ditundukkan.

Banyak Seta sempat mengamati penampilan para penyerang itu. Mereka masih muda, kira-kira berumur dua puluhan, sebaya dengan Sarba dan Kambang. Postur tubuh para pemuda itu serupa, ramping namun berotot. Bahkan tinggi mereka pun kira-kira sama, sangat mirip dengan pasukan tempur kerajaan. Gerakan yang gesit dan tertata menunjukkan bahwa orang-orang ini telah dilatih dengan baik, sama sekali berbeda dari para begal yang berkelahi secara serabutan dan acak-acakan.

"Siapa kalian?" seru Banyak Seta.

Alih-alih menjawab dengan kata-kata, pemuda di depannya membalas pertanyaan dengan ayunan golok ke leher. Banyak Seta segera menangkisnya dengan tombak. Serangan itu dipatahkan dengan mudah. Pemuda itu hanya menyeringai melihat senjatanya melayang ke udara, lalu jatuh dan lenyap ditelan air sungai. Dengan cepat, dicabutnya keris dari pinggang, lalu bersiap menghadang serangan Banyak Seta berikutnya.

"Hei, apa urusan kalian dengan kami?" tanya Banyak Seta lagi.

Pemuda yang kemungkinan besar pemimpin pasukan tak dikenal itu kembali menyeringai. Banyak Seta tahu, orang-orang yang berada di air bergerak mendekat. Melihat gerakan itu, ia yakin mereka akan menyerang mendadak secara bersamaan.

"Mundur atau kalian akan mati!" seru Banyak Seta lagi. Melawan pasukan pemula seperti ini bukan hal sulit baginya. Hanya saja, ia tidak ingin jatuh korban lebih banyak lagi bila terpaksa mengeluarkan kesaktian.

Benar dugaan Banyak Seta. Pemuda di depannya tiba-tiba memekik dan mengayun senjata, "Seraaaaang!"

Serentak, orang-orang di atas perahu menyerang bersamaan. Belasan teman mereka meloncat dari dalam air, menyerbu ke atas perahu sambil menghunus golok. Pekikan perang membahana ke seantero sungai dan hutan di sekitarnya. Monyet-monyet yang semula asyik menonton dari pucuk pohon menjerit kalut, lalu berlarian mencari persembunyian di dalam kerimbunan pepohonan.

"Merunduk!" perintah Banyak Seta kepada Sarba dan Kambang. Kedua anak buah itu langsung menjatuhkan diri ke lantai perahu sambil melindungi kepala mereka dengan kedua tangan. Mereka sudah tahu apa yang akan dilakukan atasannya.

Banyak Seta menjatuhkan tombak. Sambil memegang keris pusaka, ia memutar tangan saling menyilang di atas kepala. Saat itu juga udara di atas sungai berputar dan memadat dengan cepat. Detik berikutnya, Banyak Seta berputar sambil lalu menurunkan lengan ke samping dengan telapak tangan menghadap ke langit. Bersamaan dengan itu, ia merendahkan tubuh hingga lutut kirinya menyentuh lantai. Gerakan secepat kilat itu membuat pusaran udara padat di langit turun dengan cepat, menghantam permukaan sungai dengan kekuatan dahsyat.

Air sungai terburai ke udara setinggi beberapa tombak, seperti kejatuhan batu raksasa dari langit. Gelombang besar terbentuk dan menggulung ke segala arah, hingga mencapai tepi sungai dan bahkan menyapu pepohonan dan menyerakkan perdu-perdu.

Para penyerang itu tidak sempat berteriak. Mereka tersapu pukulan udara bertenaga dalam dan langsung tenggelam ditelan sungai.


= Bersambung =

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang