26. Penjara

169 43 14
                                    

Guyuran air dingin menerpa wajah Banyak Seta. Pemuda itu kontan gelagapan. Kesadarannya dipaksa untuk kembali. Saat membuka mata, pemandangan pertama yang terlihat adalah dua orang prajurit yang memegang ember kayu. Banyak Seta mengenal keduanya karena pernah menjadi anak didiknya.

Byur!

Sekali lagi, seember air diguyurkan ke wajah Banyak Seta hingga membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk parah.

"Sudah, cukup!" Sebuah suara berat yang tidak asing menyeruak dalam pendengaran Banyak Seta. Segera diusapnya air yang mengaburkan pandangan, lalu mendongak ke arah sumber suara. Gajah Pagon berdiri di luar jeruji besi sambil bersedekap.

Kedua prajurit muda pembawa ember keluar dari kurungan, lalu mengunci pintunya dengan rantai dan gembok besar. Banyak Seta mengedarkan pandangan ke sekeliling. Penjara ini terbuat dari tembok bata merah di ketiga sisinya, sedangkan sisi depan terbuat dari jeruji besi. Ada banyak sel di tempat ini. Semuanya melingkari pelataran yang ditumbuhi sebatang pohon beringin besar sehingga suasana tempat itu redup. Auranya dingin dan berat.

Banyak Seta tidak asing dengan penjara ini karena sebagai prajurit kerajaan, ia sering mengirim penjahat kemari untuk dihukum. Di bawah pohon beringin itulah ia dan para panglima memerintahkan hukuman mati atau siksaan lain seperti memotong tangan, kebiri, cambuk, dan sebagainya. Orang yang masuk ke tempat ini jarang keluar dengan selamat. Kalau tidak mati, cacat atau terluka parah, mereka dikirim untuk kerja paksa sebagai budak. Orang di zaman ini tidak mau repot-repot memenjarakan penjahat hingga bertahun-tahun dan memberinya makan minum gratis setiap hari. Oh, tidak mungkin! [1]

"Hei, Seta! Sudah bangun kau?" sergah Gajah Pagon yang masih mengamati tawanannya dari luar sel.

Banyak Seta berusaha duduk dengan susah payah. Tangan dan kakinya terikat. "Kakang, saya bukan tidur. Saya pingsan karena kepala saya dipukul dari belakang."

"Begitu, ya? Dipukul atau dielus oleh Paduka Gayatri?" Gajah Pagon masih tidak percaya adik seperguruannya berbuat senekat itu.

Banyak Seta terpana, sejenak kebingungan karena tuduhan yang dilontarkan Gajah Pagon. "Paduka Gayatri dalam bahaya! Beliau pingsan!"

Gajah Pagon mencibir. "Pingsan dalam pelukanmu! Wah, enak sekali!"

Otak cerdas Banyak Seta segera menyadari telah terjadi fitnah pada dirinya dan Gayatri. Wajahnya berubah panik. "Apa yang telah terjadi, Kakang?"

"Lah, seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu!" sergah Gajah Pagon. "Aku tahu kamu menaruh hati pada Paduka Putri. Bahkan Paduka Wijaya dan seisi istana pun mengetahuinya. Paduka Wijaya masih memaafkanmu karena mengingat baktimu selama ini. Tapi kalau sekarang kamu berani tidur ... ah! Aku tidak tahu lagi hukuman yang layak buatmu. Bahkan kebiri pun terlalu ringan."

Mata Banyak Seta terbeliak. Ia benar-benar difitnah! "Saya tadi menemukan Paduka Gayatri pingsan di gudang. Kakang harus mencari emban yang mengundang saya ke sana. Dialah kaki tangan tukang fitnah itu!"

"Tidak ada emban di sana," ucap Gajah Pagon dingin.

Banyak Seta teringat Gayatri. Rasa panik karena difitnah seketika terkalahkan oleh kekhawatiran akan nasib junjungannya. "Bagaimana keadaan Paduka Gayatri sekarang?"

"Paduka Putri baik-baik saja. Beliau cuma tertidur setelah mabuk arak. Berapa guci arak yang kamu berikan kepadanya?"

"Saya tidak minum arak!" sanggah Banyak Seta.

"Tidak minum? Jelaskan mengapa tercium aroma arak dari mulutmu!"

Mata Banyak Seta redup. Pengkhianat itu telah merencanakan semuanya dengan sangat teliti. "Saya ... saya tidak tahu. Pasti pelakunya orang dalam istana sampai bisa memberi arak pada Paduka Gayatri. Kakang, saya harus menghadap Paduka Wijaya. Ada masalah genting yang harus saya sampaikan."

"Itu lagi!" dengkus Gajah Pagon. "Katakan itu di persidangan nanti!"

"Persidangan? Tuduhan apa yang ditujukan kepada saya?"

"Banyak!"

"Saya tidak melakukan apa pun terhadap Paduka Gayatri!"

"Tentang Paduka Gayatri, Paduka Wijaya menganggapnya hanya masalah kecil, Seta. Kesalahanmu yang lain jauh lebih besar!"

"Saya salah apa, Kakang? Salah apa?!"

Gajah Pagon beranjak pergi tanpa mengucapkan apa pun. Banyak Seta merasa harus mengatakan sesuatu.

"Kakang! Tunggu, Kakang!" Banyak Seta berusaha bangkit, namun kaki dan tangannya terikat sehingga ia hanya bisa beringsut sekuat tenaga ke jeruji besi. "Kakang! Saya mau bicara!"

Gajah Pagon terpaksa menghentikan langkah dan kembali ke depan sel Banyak Seta. "Mau bicara apa?"

"Kakang, Kediri akan memberontak!" Banyak Seta sengaja berbisik karena tidak yakin siapa yang dapat dipercaya. "Mendekatlah, Kakang. Saya beri tahu serinci mungkin."

Gajah Pagon tidak mau mendekat. Tahu tawanannya berilmu tinggi, ia segera membuat benteng pertahanan gaib. "Kamu yakin?"

"Sangat yakin. Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri mereka membuat pusat-pusat pelatihan prajurit rahasia di dalam hutan."

Gajah Pagon sekilas terlihat terkejut. Hal itu membuat Banyak Seta yakin seniornya ini bukan salah satu komplotan pengkhianat di dalam istana.

"Jumlahnya ribuan, Kakang. Mereka berada di lereng Gunung Kelud. Sebagian lagi bersiap di utara, di dekat Matahun." Banyak Seta melanjutkan laporannya. "Kalau tidak percaya, Kakang bisa mengirim telik sandi ke sana. Saya tahu tempat-tempatnya."

Gajah Pagon terdiam dan tampak berpikir keras. "Tuduhanmu sangat mengkhawatirkan, Seta. Raja Kediri itu besan Raja Kertanagara."

"Saya tahu. Tapi, saya yakin ada mata-mata dan pengkhianat di istana. Saya melihat Gajah Wilis dan dua anak buahnya di salah satu pusat pelatihan prajurit rahasia itu."

Mendengar nama Gajah Wilis, mata Gajah Pagon kontan memicing. "Gajah Wilis katamu? Dia anak buah kepercayaan Kakang Nambi! Kamu mau menuduh Kakang Nambi berkhianat?"

"Maaf, Kakang, tapi bisa jadi seperti itu. Kakang harus meminta Paduka Wijaya menyelidikinya lebih lanjut sebelum terlambat. Mereka telah siap bergerak ke ibukota!"

"Cukup, Seta! Kamu terus-menerus menuduh ada pengkhianat. Kami semua tahu pengkhianatnya adalah kamu!" Gajah Pagon menuding wajah Banyak Seta dengan gusar.

Mau tak mau Banyak Seta terperangah. Selain dituduh berbuat tidak senonoh, ia juga tersangka pengkhianatan? Sungguh tidak masuk akal! Melihat tawanannya kaget, Gajah Pagon semakin geram.

"Sekarang apa? Pura-pura tidak tahu? Kamu bahkan membunuh Gajah Wilis demi menutupi perbuatanmu!"

"Itu tidak benar, Kakang! Gajah Wilis menikahi keponakan jauh Paduka Raja Jayakatwang. Sangat mungkin dia memihak Kediri."

"Bicaramu ke mana-mana! Kamu bahkan mengarang cerita tentang senjata kiriman dari mancanegara ke Kediri melalui Lasem. Padahal kamu memperkaya diri dengan menyelundupkan senjata istana untuk dijual ke pemberontak Melayu."

Banyak Seta semakin syok. Bagaimana mungkin keadaan malah berbalik menyerangnya? "Dari mana Kakang mendapat kabar itu?"

"Pawagal menangkap ayahmu dan antek-anteknya dari Bakula Pura."

Banyak Seta benar-benar lemas. Mahisa Pawagal adalah salah satu panglima Dyah Wijaya yang bertugas mengamankan daerah pesisir timur Pulau Jawa. Panglima muda itu dikenal dekat dengan Nambi. Jangan-jangan semua anak buah Dyah Wijaya telah terlibat.

"Di mana bapaku, Kakang?" tanya Banyak Seta dengan suara serak.

_______________

[1] Hukuman bagi penjahat ini rekaan Fura karena belum nemu literaturnya. Tapi kalau melihat film-film yang setting waktunya sezaman, tidak ada hak asasi manusia bagi penjahat di kala itu. Derajat mereka lebih rendah dari binatang peliharaan.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang