Rombongan Banyak Seta kembali bergerak keesokan hari, ketika alam masih gelap. Mereka langsung menuju Singasari. Perjalanan itu memakan waktu tiga hari dua malam. Pada siang hari ketiga, mereka telah memasuki ibukota.
"Kita langsung melapor ke Paduka Wijaya atau singgah dulu di rumah?" tanya Kambang. perjalanan jauh membuat pakaian mereka lusuh. Jangan ditanya aroma tubuh yang sanggup membuat lalat jatuh pingsan.
"Kita langsung menghadap Paduka Wijaya," ucap Banyak Seta.
Ketiga orang itu segera memacu kuda menuju gerbang utama istana Singasari. Mereka menambatkan kuda di luar pagar, lalu berjalan melewati gerbang bata merah megah yang menjulang bak candi. Para penjaga gerbang telah mengenal Banyak Seta sebagai salah satu panglima yang disegani sehingga mereka bisa masuk dengan mudah. Tidak perlu waktu lama, ketiganya telah berada di jalanan istana yang diperkeras dengan batu-batu kali.
Banyak Seta akan membelok ke sisi timur di mana istana kediaman Dyah Wijaya berada. Namun, seorang emban mencegatnya di tikungan yang sepi.
"Tuan Banyak Seta?" sapa emban itu.
Banyak Seta belum pernah berjumpa emban satu ini. Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan. Ia hanya mengenal Cemplon dan kawan-kawannya. "Siapa Bibi ini?"
Emban itu membungkuk hormat, lalu mengulurkan sebuah bungkusan kain sutra kecil berwarna kuning. "Saya abdi Paduka Gayatri yang baru, Tuan. Saya diutus untuk menyampaikan pesan Paduka Putri."
Banyak Seta menerima bungkusan kain sutra itu. Isinya hiasan sanggul. Banyak Seta tahu benar perhiasan yang terbuat dari perak bertabur mutiara itu karena ia yang menghadiahkannya kepada Gayatri. Selain tusuk konde, ada secarik dluwang yang digulung dan diikat rapi menggunakan pita sutra berwarna merah menyala. Banyak Seta membuka gulungan dan menemukan tulisan tangan Gayatri.
Kanda Seta, sudilah datang menjumpai saya di tempat rahasia. Ada hal yang sangat penting yang hendak saya sampaikan kepada Kanda.
Banyak Seta sama sekali tidak curiga tentang keaslian surat itu. Selain hafal corak tulisan tangan Gayatri, hanya dirinya dan emban terdekat yang tahu gadis itu memanggilnya Kanda Seta. Dan, tentu saja, Dyah Wijaya serta kedua panglimanya—Nambi dan Gajah Pagon— yang waktu itu menyamar sebagai Gayatri dan pengawal wanita.
Ia lebih khawatir tentang tujuan pertemuan mereka. Adakah masalah genting tengah terjadi di istana yang membuat Gayatri ingin berbicara berdua? Jangan-jangan, Gayatri mengetahui sesuatu tentang rencana penyerbuan Raja Kediri.
"Di mana tempatnya, Bibi?"
Emban itu memberi isyarat dengan tangan. "Mari saya antarkan Tuan ke sana."
Banyak Seta memutar tubuh untuk mengikuti emban itu. Sarba dan Kambang juga ingin mendampingi atasannya, namun dicegah oleh sang emban.
"Tuan berdua sebaiknya menunggu di sini. Paduka Putri menghendaki berbicara berdua saja dengan Tuan Seta."
Sarba dan Kambang terpaksa menghentikan langkah, lalu mencari tempat duduk di bawah pohon. Sementara itu, Banyak Seta dan emban berjalan menuju lorong kecil yang berujung pada sebuah halaman kediaman seseorang. Rumah itu sederhana. Bentuknya lebih mirip gudang, namun ada deretan jemuran di depannya.
"Rumah siapa ini?" tanya Banyak Seta.
"Ini tempat tinggal para emban yang sudah lanjut usia seperti saya, Tuan," sahut emban itu. Ia membuka pintu depan dan mempersilakan Banyak Seta masuk. "Silakan menunggu di dalam. Paduka Putri sebentar lagi akan datang."
Tanpa prasangka, Banyak Seta menuruti begitu saja. Bayangan wajah ayu Gayatri dan manik matanya yang menyorot penuh rasa ingin tahu membuat dadanya riuh. Hampir dua minggu ia tidak melihat gadis itu sehingga mendengar namanya saja hatinya berdesir-desir tidak karuan.
Suasana di dalam agak gelap karena rumah itu tidak memiliki jendela. Banyak Seta hanya menemukan satu ruang yang dipenuhi tumpukan barang. Ia tidak melihat tanda-tanda orang tinggal di situ. Rumah ini lebih tepat disebut gudang.
Mata Banyak Seta tertuju pada balai-balai yang berada di sudut ruang. Ada orang terbaring miring di situ. Orang itu wanita dan mengenakan kain bagus dan perhiasan emas. Dengan kepala penuh tanda tanya, Banyak Seta mendekat. Saat telah berada di sisi balai-balai, ia baru tahu wanita itu adalah Gayatri.
"Paduka, hamba datang," sapa Banyak Seta setelah duduk di depan balai-balai.
Gayatri tidak menjawab, bahkan tidak bergerak. Kepala Banyak Seta mulai dipenuhi tanda tanya. Mengapa emban tadi memintanya menunggu sedangkan Gayatri telah berada di sini?
"Paduka, hamba Banyak Seta datang menghadap!" ucap Banyak Seta lebih keras. Suaranya hanya bergaung di ruangan itu. Hatinya semakin diliputi kegalauan. Setelah dua tarikan napas tidak mendapat respons dari Gayatri, ia bangkit.
"Paduka Putri?" Banyak Seta memberanikan diri menyentuh bahu Gayatri. Gadis itu bergerak mengikuti tarikan tangannya dan berubah posisi menjadi telentang. Saat itu juga, Banyak Seta menyadari bahwa Gayatri tak sadarkan diri.
"Paduka!"
Banyak Seta terpikir untuk mencari bantuan. Sesuatu yang sangat tidak wajar telah terjadi di sini. Ia tidak tahu kapan orang-orang itu datang. Ternyata ada seseorang bercadar hitam yang mengayunkan senjata ke kepalanya dari arah belakang. Refleks, Banyak Seta meraih golok yang tergantung di pinggang dan menangkis serangan itu tepat waktu. Denting logam terdengar. Banyak Seta cukup kaget karena orang itu dapat menahan serangan balik tanpa kehilangan senjata dan bahkan kembali menyasar lehernya dengan secepat kilat. Demi menghindari tebasan maut, Banyak Seta berguling ke samping seraya menusukkan golok ke dada lawan. Lelaki tak dikenal itu mengaduh singkat, saat jantungnya tertembus.
Banyak Seta yakin, musuhnya tidak cuma satu. Tempat itu sudah dikepung! Ia merasakan gerakan udara yang diakibatkan oleh gerakan seseorang. Ilmu kanugaran orang itu pasti sangat tinggi karena Banyak Seta tidak sempat bereaksi. Bahkan ujung goloknya belum sempat ditarik kembali dari dada lawan pertama, tapi rasa pusing hebat telah mendera. Yang ia ingat adalah kepalanya terhantam sesuatu. Pandangannya seketika menjadi gelap.
= Bersambung =
Skuuy, tebak siapa dalang di balik peristiwa ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Fiksi SejarahSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...