13. Bubuk Cendana

265 51 59
                                    

Melihat ketiga tamunya menghilang di balik pintu gerbang, Banyak Seta teringat sesuatu. Biar bagaimanapun, ia mencemaskan Gayatri yang nekat bepergian keluar istana di saat dini hari dan sunyi. Walaupun situasi ibukota Singasari saat ini terlihat aman dan tenteram, ia patut memikirkan segala hal buruk yang bisa menimpa gadis itu. Apa lagi saat ini ada dugaan penyerangan dari Kediri untuk merongrong kekuasaan Raja Kertanagara. Bukankah putri bungsu raja bisa menjadi sasaran empuk penyanderaan atau bahkan fitnah?

Banyak Seta segera melesat ke keluar gerbang untuk melihat kepergian ketiga tamunya. Sampai di luar pagar, ia hanya menemukan jalan kompleks yang gelap, sedangkan ketiga orang tadi tidak terlihat bayangannya. Ke mana perginya wanita-wanita tadi? Mungkinkah terjadi sesuatu?

Rasa penasaran bercampur khawatir membuat Banyak Seta berlari ke arah barat, ke ujung jalan kompleks yang terhubung dengan pasar. Ia menyusuri tempat itu, namun tetap saja para tamu itu tak terlihat jejaknya. Mereka bagai asap yang menguap di udara, langsung lenyap begitu saja. Ia ingin memuaskan rasa penasaran dengan terus menyusuri jalan menuju alun-alun dan istana. Namun sayang, ketika ia akan melangkah, terdengar suara ayam berkokok. Banyak Seta akhirnya memutuskan kembali ke rumah karena harus segera berangkat sebelum hari menjadi terang.

☆☆☆

Rombongan Gayatri tiba di dinding timur istana. Saat keluar dari kompleks perumahan Banyak Seta tadi, mereka tidak mengambil jalan ke barat yang mengarah ke pasar lalu alun-alun, melainkan langsung ke arah selatan, menembus pekarangan dan sawah, lalu membelok ke barat, untuk mencapai sisi timur dinding istana. Sebenarnya, mereka bahkan tidak berjalan di atas tanah, melainkan meloncat dari satu bubungan rumah ke bubungan lain, dari pucuk pohon satu ke pucuk pohon lain. Perjalanan di "udara" jauh lebih cepat dan mengasyikkan. Apa gunanya ilmu tingkat tinggi bila tidak digunakan untuk kesenangan semacam ini?

Dinding bata merah istana Singasari itu tingginya lebih dari dua kali tinggi lelaki dewasa dan tebalnya sekitar setengah tombak. Sebenarnya, di sisi utara ada pintu gerbang yang dijaga prajurit. Mereka bisa saja melewati pintu itu dengan mudah.

"Paduka, apakah kita akan masuk lewat gerbang depan?" tanya salah satu abdi Gayatri.

"Ah, buat apa membuat kaget para prajurit muda itu?" sahut Gayatri. Suaranya telah berubah menjadi lebih besar dan dalam. "Bayangkan keributan yang mereka buat saat hari terang nanti bila tahu kita datang dengan pakaian seperti ini."

"Paduka benar sekali," sahut sang abdi. Suaranya juga berubah menjadi besar dan dalam layaknya suara lelaki dewasa.

"Lagipula, aku suka permainan meringankan tubuh ini. Sudah lama kita tidak menggunakannya, bukan?"

"Benar sekali, Paduka."

"Ayo!" Gayatri mendahului kedua abdinya, mengayun tubuh dengan gesit. Sosoknya begitu ringan sehingga dapat melambung ke atas dengan mudah. Dalam sekejap, ia sudah mendarat di halaman samping kediamannya.

Kedua abdinya menyusul tak lama kemudian. Ketiganya lalu masuk ke balai untuk tamu yang berada di seberang bangunan utama istana kediaman Dyah Wijaya. Sosok Gayatri melepas caping dan kain penutup tubuh. Di bawah cahaya lampu minyak, wajah ayu itu kemudian berubah menjadi raut yang tampan rupawan.

Tiga pelayan lelaki Dyah Wijaya tergopoh datang membawa baskom untuk mencuci kaki, jagung rebus yang masih panas, serta minuman jahe hangat. Dengan telaten, mereka melayani Dyah Wijaya, Gajah Pagon, dan Nambi.

"Apa yang terjadi di sana tadi, Nambi?" tanya Dyah Wijaya. Wajahnya tampak kesal karena menurutnya misi mereka gagal total. "Sayang sekali, kita tidak mendapat bukti apa pun."

"Ampun, Paduka. Menurut hamba, kita bukan pulang dengan tangan kosong. Paling tidak, kita tahu bahwa Banyak Seta masih menjaga sopan santun di depan Paduka Gayatri," sahut Nambi.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang