53. Pesan Piyung

192 54 21
                                    

Rombongan Banyak Seta menemukan gubuk yang dimaksud oleh Runi. Gubuk itu kecil, hanya sedikit lebih besar dari pondok penjaga sawah. Letaknya tersembunyi di antara pohon-pohon besar di tepian sungai, sangat bagus untuk tempat persembunyian. Di dalamnya ada perapian tunggal dan barang-barang seperti kuali, kukusan, tempayan tempat menyimpan beras, dan buli-buli tempat garam dan minyak. Banyak Seta terpaksa dipapah naik ke pondok karena terlalu kesakitan. Rasa nyerinya mulai berkurang setelah berbaring beberapa saat dan meminum ramuan dari Weling.

Wingsil, Pulung, dan anak buah Piyung segera memasak untuk makan rombongan. Mereka membuat api di pelataran karena gubuk itu hanya cukup untuk berbaring Banyak Seta.

Runi naik ke pondok membawa minyak kelapa dicampur daun-daunan yang dihaluskan menjadi pasta.

"Duduklah," pintanya yang segera dituruti oleh Banyak Seta tanpa bicara. Dengan perlahan, ia mengoleskan pasta herbal ke luka-luka pemuda itu.

Hanya keheningan mengisi pondok untuk beberapa saat. Sebaliknya, kegelisahan yang aneh mulai merayapi kalbu Banyak Seta. Seluruh sosok gadis asing ini menyedot perhatiannya tanpa disadari. Ia mulai mencermati lekuk tubuh Runi yang ramping namun padat serta bentangan kulitnya yang kuning langsat dan kemerahan di berbagai tempat karena terbakar matahari. Penghidunya menyesap aroma khas sang gadis. Tidak wangi seperti Gayatri, malah cenderung kecut. Hanya sesekali saja ia menangkap aroma melati. Mungkin gadis itu menyelipkan kantong bubuk melati kering di ikat pinggangnya.

Ketika Banyak Seta menelisik garis wajah Runi, tiba-tiba gadis yang semula sibuk mengoleskan ramuan di kakinya itu menoleh. Tak ayal, mata mereka beradu pandang. Kontan saja, Banyak Seta merasa seperti orang yang kepergok mencuri. Sedangkan Runi, langsung memerah wajahnya. Cepat-cepat ia berpindah ke belakang Banyak Seta dan mengoleskan ramuan ke luka di punggung.

"Pondok siapa ini?" tanya Banyak Seta untuk menutupi rasa malu.

Runi mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku menemukannya belum lama ini. Mungkin pemiliknya sedang bepergian jauh."

"Ya, Dewata! Apa yang kaulakukan?"

"Tenang saja, aku cuma bercanda. Pemiliknya tidak mungkin kembali ...." Ada nada sendu dalam perkataan yang diucapkan lirih.

"Kaubunuh dia?"

Runi mendesis, kesal karena tuduhan itu. Kalau tidak ingat Banyak Seta terluka parah, ingin dipukulnya punggung penuh memar itu. "Setelah semua yang terjadi, kamu masih saja belum bisa membedakan antara musuh dan teman. Pondok ini milik guruku yang pergi entah ke mana."

"Siapa gurumu?"

Runi menyebut nama Mpu Damar. Banyak Seta tidak pernah mendengar nama itu.

"Guruku orang sakti yang selalu berkelana. Mungkin sekarang beliau sudah pergi ke pulau lain. Aku pun tak begitu mengenal asal usulnya," ucap Runi.

"Maaf," ucap Banyak Seta lirih saat menyadari sikapnya yang kelewatan. "Negaraku dibumihanguskan oleh negaramu. Bagaimana mungkin aku tidak mencurigai semua orang Kediri? Apalagi kamu jelas-jelas orang penting di sana. Kalau kamu mau menceritakan asal usulmu dengan jelas, mungkin aku akan lebih mudah untuk percaya."

Perkataan Banyak Seta menguak rahasia pahit yang tersimpan dalam kalbu Runi. "Aku pun tidak percaya nasib membawaku bertemu denganmu. Sampai enam bulan yang lalu, aku masih mengira diriku adalah orang Kediri."

Banyak Seta heran mendengarnya. "Sekarang kamu sudah tidak menganggap dirimu orang Kediri? Kalau begitu, kamu orang mana?"

Runi terdiam sesaat sebelum menjawab, "Nama lengkapku Waruni. Kamu tahu mengapa aku diberi nama itu?"

"Waruni ... dewi laut. Apakah kamu berasal dari tanah seberang?"

Runi menggeleng. "Bukan aku, tapi ibuku. Aku lahir di Daha, tapi ibuku berasal dari Warunadwipa[1]."

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang