40. Pengintaian Weling

178 54 21
                                    

Dua sosok diam-diam mengamati pasukan itu dari tempat persembunyian yang aman. Sudah berhari-hari mereka mengintai pergerakan pemberontak.

"Kurang ajar!" geram Weling tertahan. "Raja lalim kata mereka?"

Wingsil tak habis pikir. Ia ikut menyaksikan sendiri kebohongan yang disebar oleh Kediri saat menemani Weling menjelajah dari utara hingga selatan.

"Keterlaluan sekali, Tuan. Padahal kalau bukan Paduka Raja Kertanagara, siapa lagi yang bisa menyatukan dwipantara? Apakah mereka tidak melihat bagaimana pesatnya kemajuan Singasari? Pernahkah tanah Jawa mencapai kemasyhuran seperti ini sebelumnya?"

"Justru kemajuan itulah yang membuat lawan merasa terancam," gumam Weling.

"Kasihan anak-anak muda itu. Bagaimana caranya agar mereka tahu bahwa mereka hanya diperalat?"

Weling hanya bisa menggeleng kecil dengan perasaan campur aduk. "Percuma. Anak-anak muda itu sudah dicekoki kebencian. Mereka hanya tahu membalas dendam," sahut Weling.

Wajah Wingsil berubah sendu karena merasakan malapetaka telah berada di depan mata. "Kita harus bagaimana lagi? Tuan Seta dan Paman Wiskira sudah dikurung. Siapa yang akan menyelamatkan Singasari?"

Weling termangu. Mereka memang mampir ke kadewaguruan Mpu Nadajna di Gunung Pawitra. Sang pendeta hanya berpesan agar mereka mendata semua orang yang setia kepada Raja Kertanagara. Itu saja. Berbekal pesan itu, Weling dan Wingsil menjelajah desa dan sima[1], mencari tahu keberadaan para pengkhianat dan memetakan wilayah-wilayah yang masih setia kepada raja. Perjalanan mereka berakhir di hutan angker ini, di mana kamp pasukan pemberontak bersiap melakukan penyerangan.

"Sebaiknya, kita kembali ke kutaraja. Aku yakin pasukan Kediri akan membumihanguskan ibukota. Kita selamatkan Banyak Seta dan Wiskira saat kekacauan itu terjadi."

Wajah Wingsil memucat. "T-Tuan, bagaimana nasib orang tua saya?"

"Kaupikir hanya kamu yang punya keluarga?" dengkus Weling. "Ayo jalan! Sebentar lagi malam."

Weling dan Wingsil menyusup perlahan di antara semak belukar. Mereka tidak melihat ada orang-orang Kediri yang mengawasi hutan di sekitar kamp. Keluar dari semak belukar, hidung mereka langsung berhadapan dengan mata golok.

"Siapa kalian!" hardik prajurit yang berwajah penuh cambang. Ia hanya berdua dengan temannya yang lebih muda.

Weling bisa saja melawan mereka. Namun, suara pertempuran hanya akan menarik lebih banyak prajurit pemberontak ke tempat ini. Karena itu, ia langsung bersujud.

"Ampuuun! Kami hanya mencari kelinci dan celeng untuk makan, Tuan."

"Kalian pasti mata-mata! Bunuh mereka!" ucap prajurit tadi. Ia telah mendapat perintah untuk membunuh siapa saja yang berada di sekeliling kamp.

Prajurit yang satu lagi langsung mengayun golok ke leher Weling. Lelaki itu menangkis dengan gagang pikulan. Pukulannya tepat mengenai lengan si prajurit hingga ia mengaduh sambil memegangi lengannya yang ngilu.

"Kurang ajar!" Prajurit yang satu lagi meletakkan jari di mulut, hendak membuat kode suitan untuk memanggil teman-temannya. Belum sempat napasnya berembus untuk meniup jari, lehernya tertembus panah. Ia ambruk seketika.

Prajurit lain menoleh dan kaget melihat temannya tewas mendadak. Ia baru menoleh ke arah datangnya panah, namun terlambat. Dadanya pun tertembus anak panah. Ia tewas tak lama kemudian.

Weling segera melindungi Wingsil dengan badannya. Ia tidak tahu si pemanah berada di pihak siapa. Jangan-jangan, tak lama lagi ia dan Wingsil akan menyusul kedua prajurit tadi ke alam baka.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang