43. Tantangan Kebo Mundarang

166 44 29
                                    

Banyak Seta sigap berguling ke sisi lain sambil melindungi diri dengan energinya. Tak satu pun anak panah berhasil menembus kulitnya. Ia segera berjongkok dan melempar kedua golok ke arah Pudot dan Bowong. Senjata itu meluncur deras, mengarah ke dada kedua panglima itu.

Pudot dan Bowong kaget. Mereka tidak menyangka Banyak Seta lolos dari terjangan anak panah. Bukan itu saja. Banyak Seta masih sempat melemparkan senjatanya. Tahu-tahu, dua bilah golok menyerbu ke arah mereka.

"Aaaargh!" Pudot dan Bowong memekik bersamaan. Mereka tidak sempat menangkis.

Trang!

Kurang satu jari lagi, ujung golok akan menembus dada Pudot dan Bowong. Namun tiba-tiba, kedua senjata itu terpelanting dan jatuh beberapa depa jaraknya. Banyak Seta segera bangkit. Hanya orang yang memiliki kesaktian tinggi yang bisa menggagalkan serangannya.

Banyak Seta menoleh ke arah gerbang istana dan melihat seorang pria tengah di ujung halaman balairung. Sosoknya kekar dan tegap, dengan wajah garang yang dihiasi cambang lebat. Otot-ototnya bergulung kencang walau sudah berumur. Lelaki itu duduk penuh wibawa di punggung kuda hitam tinggi yang membawanya menuju Balai Manguntur. Pasti dialah orang yang menjatuhkan goloknya tadi.

Prajurit pemberontak menyingkir untuk memberi jalan pembesar Kediri yang tengah memasuki halaman Balai Manguntur. Hawa dingin menyertai kedatangannya walau lingkungan sekitar tengah membara dalam kobaran api. Kudanya menapak dengan gagah, melangkahi jenazah, tombak, golok, keris serta ceceran darah para prajurit Singasari yang gugur. Wajah garang penunggang kuda itu mengingatkan Banyak Seta pada Kebo Wungu.

Kebo Mundarang!

Banyak Seta tidak menemukan Jayakatwang di belakang Kebo Mundarang. Ia kini mengerti mengapa pasukan pemberontak tadi hanya diam di sekitar Balai Manguntur. Mereka pasti menunggu Kebo Mundarang untuk melakukan pertempuran pamungkas melawan Kertanagara.

Darah Banyak Seta mendidih. Kediri hanya mengirim patih untuk menghadapi raja besar Tanah Jawa. Sungguh sebuah penghinaan besar!

Banyak Seta yakin akan kehabisan waktu bila meladeni Kebo Mundarang yang terkenal sakti. Dilumpuhkannya Pudot dan Bowong dengan pukulan jarak jauh. Karena tidak siap menahan serangan jurus sakti, keduanya ambruk. Banyak Seta menghambur ke dalam balai, sambil mengajak Sarba dan Kambang untuk ikut ke Paseban.

Banyak Seta hendak membuka pintu Paseban, namun pintu yang terbuat dari kayu jati tua dan berukir indah itu terkunci dari dalam.

"Paduka Raja, hamba Banyak Seta mohon menghadap!" seru Banyak Seta.

Mendengar seruan itu, pintu terbuka. Banyak Seta segera masuk, diiringi Sarba dan Kambang. Ia menemukan Kertanagara bersila di balai-balai singgasananya. Di sekelilingnya duduk bersimpuh Permaisuri Sri Bajradewi, Mahapatih Aragani atau Apanji Aragani, Raganata, dan para rakryan[1].

Banyak Seta dan kedua abdinya segera sujud menghaturkan sembah. "Paduka, hamba telah menyiapkan jalur keluar. Sudilah Paduka be—"

"Kamu Banyak Seta, bukan?" Suara serak Kertanagara memotong kalimat Banyak Seta.

"Hamba, Paduka."

Kertanagara yang biasanya penuh percaya diri, malam ini terlihat sangat berbeda. Rona wajahnya kelam, seperti digayuti mendung hitam. Ia tidak menyangka peringatan Mpu Sambi yang menurutnya sangat tidak masuk akal itu ternyata benar-benar menjadi kenyataan. Ia juga merasa bersalah tidak menuruti permintaannya untuk memakan buah kepel. Ternyata, buah itu berisi penangkal racun pelemah otak yang dimasukkan ke dalam arak. Karena racun itulah semua pembesar dan pendeta terlena. Kekuatan magis mereka menyusut drastis. Saat menyadari hal itu, semuanya telah terlambat. Tabir perlindungan gaib sudah hancur tak bersisa dan pasukan musuh menyerbu ibukota.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang