Banyak Seta masih mematung di tempat walau Gayatri telah menghilang dari pandangan beberapa detik yang lalu. Selama ini, ia berusaha menjaga sikap. Bahkan pucuk-pucuk harapan yang kerap muncul dengan liar di dalam kalbu segera dibabat habis tanpa ampun. Sebab, sekalipun dicari-cari seribu pembenaran, ia hanya akan menemukan jalan gelap yang sangat mungkin berujung tragedi, baik bagi dirinya maupun bagi Gayatri sendiri.
Sekuat apa pun jiwa Banyak Seta, pertemuan singkat yang dekat dan erat tadi telah mengikis benteng batin yang selama ini dijaga ketat. Debaran yang melanda dadanya ini tidak mungkin dianggap tidak ada. Matanya nanar menatap besek pemberian Gayatri.
Duh, Paduka. Kalau seperti ini terus, hamba akan jatuh juga.
Sepuluh tahun yang lalu, saat usianya empat belas tahun, ia dipanggil untuk mengabdi di istana Singasari. Mulai saat itu pula, ia pindah dari kadewaguruan Mpu Nadajna di lereng Gunung Pawitra ke ibukota. Sebagai orang yang sejak kecil digembleng untuk menjadi pasukan elite Dyah Wijaya, dengan sendirinya ia ikut bergaul dengan kerabat istana, termasuk keempat putri Raja Kertanagara. Di istana inilah ia mulai mengenal Gayatri, gadis kecil yang sangat tertarik pada ilmu pertempuran dan tata negara.
"Seta!" Sebuah seruan dari arah belakang menyentak kesadaran Banyak Seta. Ketika ia berbalik, ternyata orang yang ia cari telah berada di situ, bersama Gajah Pagon dan Nambi. Tubuh Dyah Wijaya tidak setinggi dirinya, namun tak kalah berotot. Wajahnya berkesan damai karena memiliki senyum manis dan sepasang mata lebar yang menyorot ramah.
Banyak Seta segera berlutut untuk memberi hormat kepada Dyah Wijaya. "Hamba, Paduka."
"Bicara dengan siapa kamu tadi?" tanya Wijaya.
Hati Banyak Seta kontan resah. Apakah kejadian berpelukan secara tidak sengaja tadi dilihat oleh junjungannya? "Hamba tidak sengaja berjumpa Paduka Gayatri."
"Hm, pasti Gayatri sangat sayang padamu hingga memberikan bingkisan itu." Dyah Wijaya mengerling ke arah besek yang di berada di tangan Banyak Seta.
Banyak Seta lemas. Bila Dyah Wijaya tahu dari mana besek itu berasal, kemungkinan besar kejadian sebelumnya juga .... Matilah aku!
"Ampun, Paduka. Sesungguhnya, hamba tidak pantas menerima ini."
Dyah Wijaya tersenyum. Ia telah mengenal Banyak Seta sejak kecil dan paham benar bagaimana perangainya. Sebagai seorang lelaki, tentu saja ia mengerti apa arti pandangan dalam yang diam-diam dilayangkan Banyak Seta kepada Gayatri. Hanya saja, ia tidak ingin masalah wanita menjadi ganjalan hubungan antara dirinya dan abdi paling berbakat ini.
"Ah, sudahlah," ucap Dyah Wijaya untuk mengakhiri pembicaraan yang tidak berguna itu. "Mengapa kamu di sini bukan di tempat pelatihan prajurit?"
"Hamba hendak melaporkan sesuatu kepada Paduka," ucap Banyak Seta.
"Kalau begitu, mari kita bicara di kediamanku." Dyah Wijaya berjalan mendahului para prajurit itu menuju gapura yang menjadi pintu masuk ke area kediamannya.
Area kediaman Dyah Wijaya dijaga dua orang punggawa di pintu masuknya. Saat rombongan itu datang, mereka membukakan pintu besi dan mempersilakan rombongan itu masuk. Dyah Wijaya melangkah menaiki tangga gapura, namun Nambi dan Gajah Pagon terlihat ragu dan berhenti di kaki tangga. Melihat itu, Wijaya teringat sesuatu.
"Seta, sebenarnya aku dan kedua kakakmu ini akan membicarakan tentang pengiriman bantuan untuk Paman Kebo Anabrang di Melayu[1]," ucap sang pangeran.
Banyak Seta segera mengerti maksud tersirat Dyah Wijaya. "Hamba akan menunggu di sini sampai Paduka selesai dengan Raka Nambi dan Raka Gajah Pagon." [2]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...