7. Sandyasa Lebu

361 67 45
                                    


Gayatri terpukau menyaksikan kesaktian ayahandanya. Raja Kertanagara telah berlatih ilmu bela diri dan kebatinan dari guru-guru terkemuka sejak kecil. Sang ayah juga penganut aliran Tantra Kiri yang disebut Bhairawa Tantra. Aliran ini, sebagaimana semua ajaran spiritual, mempunyai tujuan akhir mencapai pencerahan atau bersatunya manusia dengan Sang Pencipta. Namun sepanjang prosesnya, seorang penganut Bhairawa Tantra akan mendapatkan kesaktian yang luar biasa. Sebut saja kemampuan melawan gravitasi bumi sehingga orang tersebut bisa melayang di udara, meringankan tubuh, "hinggap" di atas daun, dan bahkan terbang. Kemampuan lain yang bisa dimiliki adalah berkomunikasi dengan makhluk-makhluk berbagai dimensi, melakukan pukulan jarak jauh, berpindah tempat dalam sekejap, dan masih banyak lagi. Salah satu yang terkenal adalah melepaskan jiwa dari tubuh sehingga jiwa itu bisa bepergian ke mana saja, bahkan menembus dinding dan meretas jarak dan waktu.

"Ayahanda, ke mana pintu ini membawa kita?" tanya Gayatri.

Kertanagara tersenyum sambil berbisik, "Ruang penyimpanan rahasia."

"Ruang rahasia?" cetus Gayatri, sedikit nyaring karena kaget.

"Ssssst!" Kertanagara memberi isyarat dengan jari telunjuk ditempelkan ke bibir agar Gayatri menurunkan volume suara. "Semua dinding istana ini memiliki telinga, Putriku."

Gayatri segera menutup mulut dengan kedua tangan, lalu mengangguk beberapa kali. Sementara itu, Kertanagara kembali menggerakkan tangan. Pintu—yang terbuat dari kayu jati berukir motif mandala bersudut delapan—bergerak sendiri tanpa disentuh.

Pola bersudut delapan itu bukan tanpa makna. Bentuk itu adalah Dharmacakra, yaitu lambang pemutaran roda Dhamma dalam ajaran Buddha. Roda Dhamma sendiri melambangkan kehidupan yang terus berputar, layaknya roda kendaraan, kadang di atas, kadang di bawah. Suka berseling duka. Sehat berganti sakit, kaya bersulih miskin, memperoleh sekaligus kehilangan. Sedangkan delapan sudut melambangkan ajaran Jalan Tengah Budha yang merupakan jalan untuk mencapai kebebasan.[1]

Pintu itu terbuka oleh tenaga dalam sang raja. Sebuah lorong gelap menunggu di baliknya. Sekali lagi, Kertanagara menggerakkan tangan di udara. Tahu-tahu, sederet pelita menyala di sepanjang lorong. Ayah dan anak itu kemudian masuk dan berjalan dengan bantuan penerangan dari pelita.

Di ujung lorong, sebuah pintu kayu dengan ukiran bermotif serupa, terbuka dengan sendirinya saat sang penguasa dwipantara mendekat. Di balik itu, sebuah ruang terang benderang menyambut mereka. Ruangan itu kecil, tak lebih dari empat tombak panjang dan lebarnya. Ruang kecil itu semakin sempit karena dipenuhi rak-rak kayu berisi tumpukan gulungan lontar.

Gayatri bergegas mengitari rak-rak dan melihat isi beberapa gulungan. Matanya membulat karena girang. "Ini salinan sastra dari berbagai negeri!"

"Aku tahu kamu akan menyukai tempat ini," sahut Kertanagara.

"Siapa penulis semua sastra salinan ini?" tanya Gayatri.

Kertanagara bertepuk tangan tiga kali. Seorang pria muncul dari salah satu sudut. Ia bertelanjang dada layaknya masyarakat Singasari, mengenakan kain putih dan sebuah ikatan kain yang juga putih menghiasi kepalanya. Di tubuhnya yang berkulit kuning langsat dan bersih tidak tampak sebuah perhiasan pun. Lelaki paruh baya itu membungkuk dan memberi hormat di hadapan Kertanagara.

"Ini Mpu Sambi," ucap Kertanagara.

Gayatri memberi salam kepada lelaki itu. Ia agak heran. "Saya belum pernah berjumpa Mpu sebelumnya. Dari kadewaguruan manakah, Mpu?"

Kertanagara terkekeh. "Mpu Sambi tidak dari mana-mana dan tidak berada di mana pun."

Gayatri kontan ternganga. "Oh, Mpu ini ... astaga!" Gayatri menutup mulut dengan kedua tangan.

Sandyasa Lebu - Letter of DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang