Pagi-pagi sekali, saat langit masih gelap, Banyak Seta telah bersiap meninggalkan rumahnya. Seperti biasa, perjalanan kali ini akan ditemani oleh dua anak buah paling setia, yaitu Sarba dan Kambang. Kedua pemuda itu merupakan saudara kandung. Nama mereka diambil dari daerah di mana keduanya dikandung dan dilahirkan. Sarba lahir saat ayahnya masih miskin dan menjadi buruh angkut di pelabuhan Sarba. Sedangkan Kambang lahir ketika penghasilan ayahnya sudah lebih mapan, yaitu menjadi pemilik warung makan di pelabuhan Kambang Sri. Mungkin karena itulah badan Kambang lebih tinggi dan lebih gagah dari Sarba. Otaknya juga lebih cerdas. Kemungkinan besar makanan yang didapat Kambang selama masih orok dan kanak-kanak lebih bergizi daripada sang kakak.[1]
Banyak Seta baru selesai mengenakan kain dan ikat pinggang. Ia sengaja memilih kain tenun kasar tua berwarna abu-abu. Barangkali dulu sewaktu kain itu masih baru, warnanya putih. Usia telah membuatnya menjadi kelabu. Senjata pusaka berupa keris pemberian Mpu Nadajna ia simpan dalam buntalan kain agar tidak mencolok karena mereka akan menyamar sebagai rakyat jelata. (bungkusan)
Keris pusaka semacam itu hanya dimiliki kalangan khusus yang biasanya memiliki kedudukan tinggi di pemerintahan. Gagangnya kayu jati berukir. Hiasan di pangkal gagang terbuat dari kuningan berbentuk kepala angsa. Ada satu mata dari batu delima merah yang menjadi penanda bahwa keris itu menyimpan kekuatan gaib. Sarungnya juga berlapis kuningan yang dibubuhi hiasan ukiran angsa yang tengah terbang di antara awan.
"Angsa adalah hewan yang teliti dan setia. Berbangga hatilah menyandang lambang ini, Seta," ucap Mpu Nadajna kala menyerahkan keris itu bertahun yang lalu. "Sungguh sangat bijak bapamu memberi nama itu."
Banyak Seta remaja menghaturkan sembah sebelum menerima pusaka itu. Sang guru mengembuskan napas panjang. "Angsa putih ...."
Banyak Seta menengadah, menatap sang guru yang tiba-tiba tercenung. "Saya, Guru?" tanyanya.
"Ah, tidak mengapa. Kamu angsa putih yang akan memikul tanggung jawab besar. Tapi dari kamu nanti, lahir seorang besar di tanah Jawa."
Mpu Nadajna mengatakan itu di depan murid-murid lainnya. Ada Nambi dan Gajah Pagon yang saat itu baru beranjak dewasa. Gara-gara ucapan ramalan sang guru, ia kerap diolok oleh teman-temannya. Kata mereka, kalau ayahnya angsa, apa nanti anaknya? Mana mungkin jaran, singa, naga, atau gajah, bukan? Semua nama itu melambangkan kekuatan seorang "besar". (kuda)
Banyak Seta tidak memedulikan olokan itu. Ia memang tidak berambisi menjadi orang besar. Hasrat yang menggulung dalam dadanya sejak dulu adalah menjadi prajurit laut yang mengawal kedaulatan Singasari di Laut Jawa.
Banyak Seta menoleh ketika terdengar suara-suara dari ruang tengah. Ia mengintip sejenak dari celah pintu bilik untuk memastikan tidak terjadi sesuatu yang buruk. Pekerjaan telik sandi yang diembannya selalu melibatkan mara bahaya. Seperti kali ini, tugas memata-matai besan raja bukan perkara sepele. Apalagi sebelumnya sebuah nyawa telah melayang. Bukan tidak mungkin pihak lawan berusaha menggagalkan tugasnya kali ini. Karena itu, demi alasan keamanan pula, ia memutuskan makan bersama di rumah utama yang tertutup ini, bukan di bangunan sebelah timur di mana terdapat ruangan terbuka yang luas. Dengan begitu kecil kemungkinan orang luar mencurigai kegiatan mereka di pagi buta ini.
Ternyata suara gaduh itu berasal dari Sarba yang selesai memasak dan sekarang membawa bakul kecil berisi nasi dan ikan panggang keluar dari dapur. Makanan itu kemudian diletakkan di balai-balai ruang tengah. Kambang menyusul di belakang kakaknya, membawa piring-piring dari tembikar dan sebuah mangkuk berisi telur rebus. Kedua anak buah itu semalam menginap di rumah Banyak Seta untuk mempersiapkan perjalanan mereka. Bekal berupa baju seadanya, sekantong beras, beberapa butir telur rebus, serta ikan kering telah dimasukkan ke dalam keranjang bambu besar yang nanti akan digendong di punggung. Mereka akan menyamar sebagai pedagang dari pedesaan lereng Gunung Arjuna yang tengah mencari barang dagangan di pasar-pasar sepanjang Sungai Brantas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...