Gadis itu tiba-tiba muncul di depan Banyak Seta sambil merentang busur. Sorot matanya tajam, sangat tidak sesuai dengan wajah bulat telur yang bergaris lembut. Pipinya bulat, sedikit kemerahan terbakar matahari, berpadu dengan sepasang bibir yang mengerucut. Matanya tidak terlalu besar, namun maniknya kecokelatan. Alisnya rapi seperti garis melengkung. Alih-alih menyeramkan, raut itu sebenarnya membuat gemas."Jangan bergerak!" desis gadis itu.
Tubuhnya yang sintal dan padat, dengan buah dada bulat yang membusung, dengan gesit meloncat ke semak-semak di dekat Banyak Seta. Sebuah perisai lonjong yang terbuat dari lempeng besi dan kantung kulit panjang tempat anak panah tergantung di punggungnya. Rambutnya digelung di belakang kepala. Ia tidak mengenakan perhiasan, hanya sepasang gelang tangan dan kalung rantai di leher yang terbuat dari kuningan mengkilap. Kain yang dikenakan pun hanya berupa kain tenun kasar berwarna biru tua polos. Penampilan seperti itu menunjukkan gadis ini bukan dari kalangan bangsawan. [1]
Panah gadis itu kini mengarah ke depan, di mana lima orang pasukan tak dikenal itu tengah memburu Sarba dan Kambang. Banyak Seta baru sadar gadis itu telah menyelamatkan nyawanya dari anak panah maut. Entah mengapa ia tidak mendeteksi keberadaan pemanah di atas pohon.
Mata Banyak Seta sejenak belum mau lepas dari gadis itu. Raut wajahnya seperti tidak asing. Apakah mereka pernah berjumpa? Di mana, kapan? Banyak Seta tidak berhasil menemukan memori itu biarpun cuma secuil.
"Terima kasih," ucap Banyak Seta setelah mengatasi kekagetannya. Ia ingin bertanya lebih lanjut tentang gadis misterius itu, namun teriakan-teriakan pertempuran mendadak menggaung di udara. Kelima orang prajurit tadi telah menemukan Sarba dan Kambang. Perkelahian antara hidup dan mati pun pecah.
Sarba dan Kambang sebenarnya cukup piawai untuk menandingi kelima orang itu. Namun, tiba-tiba mereka diserbu anak panah dari atas. Rupanya, ada pemanah-pemanah yang diam di pohon dan mulai melancarkan serangan. Kedua orang itu harus menghindari terjangan anak panah dari udara sekaligus meladeni perkelahian di atas tanah.
"Aaaargh!" Sarba berteriak saat sebuah anak panah menggores bahunya. Beruntung ia sempat berkelit sehingga senjata itu tidak menembus dadanya.
"Sial!" seru Banyak Seta. Ia menoleh pada Pulung sejenak. "Kalau tidak mau mati, diam di sini. Mengerti?"
Pulung mengangguk dan langsung merunduk di balik perdu. Banyak Seta bergerak keluar dari tempat persembunyian untuk membantu Sarba dan Kambang.
"Tuan!" panggil gadis misterius tadi.
Banyak Seta menghentikan gerakan. Tahu-tahu, gadis itu melempar perisai. Mau tak mau, Banyak Seta menangkapnya. Sekejap kemudian, ia lemparkan kembali benda itu kepada pemiliknya. Ia cukup lincah untuk menghindari anak panah.
"Anda lebih membutuhkannya," sahut Banyak Seta tanpa bermaksud menyombongkan diri. Setelah mengucapkan itu, ia melesat ke arena pertempuran. Pekikannya membuat kelima musuh mereka kaget.
Gadis misterius tadi segera mengendap di antara pohon-pohon, lalu melancarkan serangan balasan ke arah atas. Bidikannya sangat akurat. Tiga sosok tubuh jatuh dari ketinggian dengan anak panah menancap di tubuh mereka. Berkat bantuan gadis itu, Banyak Seta dan kedua anak buahnya dapat melumpuhkan kelima lawan mereka dengan cepat. Empat orang tewas. Seorang lagi masih bernapas, namun sebuah tusukan keris menembus perutnya.
"Tanyai dia," perintah Banyak Seta.
Sarba segera mendekati orang yang tengah bersandar di sebuah batang pohon sambil memegangi perutnya. "Siapa kalian?"
Orang itu hanya menyeringai. Napasnya telah satu-satu dan matanya kurang awas. Sarba mencengkeram dagu lelaki itu. "Hei, jangan mati dulu! Siapa yang menyuruh kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...