Perahu kecil bermuatan barang-barang dagangan milik Banyak Seta melaju mengarungi Sungai Brantas. Walau hari belum sepenuhnya terang, namun ia dan kedua anak buahnya mengawasi kondisi sekitar dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Bukan tidak mungkin musuh mengirim pasukan penyergap kedua untuk menghabisi mereka.
Banyak Seta duduk di buritan, di antara bakul-bakul berisi kemiri, garam, dan lada. Barang-barang itu sebagian besar masih bagus dan kering karena terlindungi oleh kain tebal dan anyaman tikar. Hanya dua bakul garam dan lima tempayan minyak kelapa pecah karena sabetan golok atau tusukan tombak yang salah sasaran.
Sementara Sarba dan Kambang mendayung perahu secepat mungkin, Banyak Seta membersihkan keris serta tombak-tombak mereka yang berlumuran darah. Sesekali diliriknya tawanan mereka yang duduk meringkuk di tengah perahu.
Prajurit tawanan yang kedua tangan dan kakinya terikat itu diam-diam memperhatikan sosok Banyak Seta dengan perasaan campur aduk. Ia belum bisa yakin pada janji lelaki itu. Tuan yang selama ini ia percaya sepenuh jiwa raga saja tega membunuh kakaknya, apalagi orang tak dikenal ini.
Banyak Seta tahu kegalauan si prajurit muda. "Jangan diam saja. Katakan siapa orang yang ingin menangkapmu tadi?" tanyanya.
Prajurit itu terlihat ragu. Pakaian Banyak Seta dan kedua temannya terlihat seperti pedagang biasa, namun wajah, sorot mata, serta gerakan mereka sangat jelas menunjukkan bahwa ketiganya terlatih ilmu kanuragan tingkat tinggi. Setahunya, ilmu seperti itu hanya dimiliki oleh prajurit pilihan yang dididik oleh para pendeta di kadewaguruan. Ia bingung mengapa anak didik pendeta menjadi penjahat?
"Mengapa Tuan menjadi perampok?" cetus pemuda itu tanpa berpikir panjang.
Sarba dan Kambang yang mendayung di depan sampai menoleh ke belakang karena keheranan.
"Heh, dasar bocah bodoh! Siapa bilang kami perampok?" sergah Sarba. Dijitaknya kepala tawanan itu.
"Auch!" Prajurit muda itu mengernyit kesakitan, namun tidak bisa berbuat apa pun karena kedua tangan dan kakinya terikat.
"Kalian ditugaskan untuk menghukum kami karena kami adalah perampok?" tanya Banyak Seta.
Pemuda itu mengangguk. "Itulah yang tuan saya katakan saat mengutus kami."
Mata Banyak Seta sontak memicing. Tubuhnya condong ke depan sehingga wajahnya tepat berada di depan wajah prajurit muda. "Hm, kalian pasukan mana? Kediri?"
Mimik wajah tawanan itu seperti orang bingung. "B-bukan!"
"Bukan? Lantas dari perguruan mana kalian? Jangan-jangan kalianlah gerombolan begal yang selama ini dicari Singasari," tuduh Banyak Seta untuk memancing informasi.
Umpannya ternyata dimakan si tawanan. Ia terlihat panik. Banyak Seta tersenyum sambil menepuk bahunya.
"Katakan saja. Nyawamu sekarang ada di tanganku. Kamu boleh memilih, kubebaskan tapi diburu sampai mati seperti kakakmu, atau mengatakan semua yang kamu tahu dan kamu akan hidup sebagai abdiku," ucap Banyak Seta.
"Ja-jadi Tuan bukan perampok?" tanya di pemuda lagi. Kepalanya langsung kena jitak oleh Sarba.
"Bocah kurang ajar! Kami utusan Paduka Dyah Wijaya, menantu Raja Kertanagara, calon raja Singasari!" sergah Sarba.
Si prajurit terbelalak kaget. Rupanya, informasi yang ia dapat selama ini sangat salah. "Ampun, Tuan. Tapi, Tuan Waring memberi tahu kami seperti itu," gagapnya.
"Aha! Jadi orang yang mengutusmu bernama Waring?" cetus Sarba. "Apa dia orang yang memburumu tadi?"
Si pemuda mengangguk. Banyak Seta semakin penasaran dengan informasi baru itu. Siapa sebenarnya orang yang berada di balik penyerangan semalam?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyasa Lebu - Letter of Dust
Historical FictionSandaya Lebu, surat terakhir dan teramat rahasia dari Kertanagara, telah mengubah hidup Banyak Seta selamanya. Peristiwa bermula ketika panglima muda pasukan elite Singasari itu menemukan bukti-bukti pengkhianatan Jayakatwang dari Kediri dan hendak...