BIR KALENGAN DAN ayam goreng tepung, Varen membelinya untuk menemani Briana mencurahkan isi hati.
Briana memandang kantong belanjaan dengan tidak suka. Begitu sampai di apartemen, dia meminta kunci mobilnya dari Varen seraya berkata, "Kita nggak akan makan itu." Manik mata menatap lurus sang pria. "Nggak sehat," tambahnya.
Varen mengedikkan bahu, sudah memperkirakan respons Briana.
"Gue nggak maksa lo makan ini," tuturnya sambil lalu. Dia melepas sepatu dan menjejakkan kaki di lantai apartemen. Pendingin ruangan terasa menyejukkan. Dia membuka blazer dan menyampirkannya ke pundak. Dengan langkah lebar, dia menghampiri ruang tengah, sesekali melihat jalan menuju ruangan lain, bertingkah seolah tempat ini adalah tempat tinggalnya sendiri. "Lebih luas dari apartemen pertama lo. Gue sewa apartemen di gedung ini aja kali, ya?"
Briana mengembuskan napas pendek begitu melihat kelakuan tak acuh sosok ini. Varen benar-benar tidak berubah.
"Nggak ada lantai kosong, semua unitnya udah penuh." Dia ikut beranjak ke ruang tengah. "Lagian, lo kenapa nggak ke hotel dulu aja, sih?"
Varen telah membuka segel kaleng.
"Mahal," ujarnya pendek.
"Bullshit," timpal Briana dengan spontan. "Lo bisa beli perumahan mahal kalau mau. Duit hotel mah udah kayak duit jajan buat lo."
"Kenapa harus cari yang bayar kalau emang ada yang gratis?" Dia meneguk minuman beralkohol itu. "Dan gue nggak akan lama tinggal di sini, mentok setahun, mau ngurus pembukaan cabang doang."
Hal itu sedikit menarik perhatian Briana. Dia menaikkan kedua alis.
"Lo mau tinggal permanen di Paris?"
Varen tidak langsung menjawab. Dia bersandar pada punggung sofa, kembali meneguk minuman, lalu berkata, "Kita lihat nanti." Pandangannya beralih pada Briana. Dia tersenyum separuh dan bertanya, "Lo mau gue tetep di Jakarta?"
Briana mengembuskan napas pelan. Dia berjalan menghampiri kamar.
"Terserah lo, gue nggak ada hak buat ngatur," timpalnya, jarak yang merentang membuat suaranya sedikit lebih samar.
Varen menyilangkan kaki selagi kembali menyesap minuman. Sorot mata tampak menerawang.
"Hm, gue bakal tinggal di sini kalau lo mau," balasnya tanpa berseru, suaranya tak sampai didengar Briana.
Briana kembali tak lama kemudian. Gaun yang tadi dikenakan kini sudah diganti dengan kaus kebesaran dan celana pendek sepaha. Dia mengalihkan bantal sofa untuk duduk di samping pria yang merangkap sebagai sahabatnya.
Raut wajah Briana masih mendung. Dia bersandar pada sofa dan memejamkan mata. Varen menatap sekilas. Dia mengambil kaleng bir yang masih dingin, lalu menyentuhkan kaleng di sisi wajah Briana.
Rasa dinginnya cukup menyengat. Briana langsung membuka mata.
"Masih nggak mau?" tutur Varen tanpa rasa bersalah. "Lo nggak akan bisa cerita tanpa mabuk dulu, kan?"
Briana mengerling, menatap kaleng bir yang disodorkan padanya.
"Kadar alkohol di minuman ini cuma dikit. Gue nggak akan mabuk."
"Coba aja," balas Varen sambil lalu. "Biar kepala lo lebih enteng," tambahnya.
Briana menatap dengan gamang. Detik berikutnya, dia sudah mengambil kaleng itu dari sang pria. Selagi membuka kaleng dan kantong makanan berisi ayam tepung, dia mendengar pertanyaan sosok di sampingnya.
"Se-worth it apa dia sampai bikin lo sepusing ini?"
Briana meneguk minuman. Dia mengembuskan napas pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound Together [END]
RomanceSahabat lelaki, bagi Briana, sosok bernama Varen Abimanyu hanyalah seorang sahabat lelaki yang dikenalkan oleh ibunya ketika dulu mereka masih kanak-kanak. Mereka tumbuh dan berkembang bersama, menyaksikan kejatuhan, perjuangan, dan pencapaian yang...