5 ; Makan Malam

10.6K 1.2K 101
                                    

MALAM AKHIR PEKAN Briana terganggu berkat ucapan absurd Varen.

Briana baru kembali dari gimnasium saat Varen mengumumkan permintaan aneh tersebut. Badannya masih panas setelah berolahraga. Pendingin ruangan baru akan diturunkan suhunya. Dia perlu merilekskan tubuh dan pikiran, bukannya malah dijejali beban masalah yang lain.

"Pacar pura-pura?" beonya, belum betul-betul memahami ucapan sang pria.

Varen mengangguk. Dia beranjak menghampiri sofa, mengempaskan diri di sana dan menyugar rambut dengan frustrasi.

"Ah, nyokap drama banget. Ngapain tahun segini pakai acara jodoh-jodohan?" Dia menegakkan diri dan menatap lurus Briana. "Tell me, Bri. Gue setua itu sampai dikejar-kejar buat nikah?"

Briana mengusapkan handuk kecil untuk menyeka peluh di pelipis.

"Harusnya sih enggak. Apalagi lo cowok. Di masyarakat kita, cowok seumuran lo lebih ditoleransi semisal belum nikah."

"Iya, kan?" ucap Varen, meminta dukungan. "Dari setengah tahun kemarin, nyokap minta gue nikah mulu. Dia minta gue pulang biar bisa dijodoh-jodohin gini. Gue sengaja belum pulang ke rumah supaya nggak dilibatkan sama masalah itu lagi. Tapi, dia belum nyerah juga." Varen mengembuskan napas pendek. "Lo bantu gue ngomong ke nyokap aja gimana? Dia lebih dengerin lo dibanding gue."

Briana duduk di punggung sofa. Dia meminum air mineral dari botol yang dibawanya.

"Tante Dewi emang lebih halus ke gue. Tapi, omongan gue kayaknya nggak bakal ngaruh." Briana mengedikkan bahu. "Kita tau, nyokap lo kayak gimana kalau udah mau sesuatu."

Varen mengangguk. Dia menaikkan kedua alis.

"Jadi, lo mau bantu buat jadi pacar bohongan?"

"Kenapa lo nggak terus terang aja sama si calon ini? Ngomong baik-baik," ucap Briana, menyarankan opsi yang lebih masuk akal. "Emang ceweknya siapa, sih?"

"Gue belum tau. Maka dari itu gue minta bantuan lo, biar alasan nolaknya lebih jelas."

"Kalau nyokap lo tanya gimana?"

Varen mengedikkan bahu dengan tidak peduli.

"Bilang aja lo bantu gue, siapa tau dia malah lihat lo jadi kandidat menantu—"

Briana langsung berdecak.

"Ngarang abis," komentarnya. Merasakan kondisi tubuh yang tak lagi nyaman akibat keringat, dia kembali berdiri. "Gue ikut pergi. Tapi, lo nanti harus tetep ngomong ke cewek ini. Semisal dia belum mau ngertiin juga, baru lo boleh pakai alasan pacar. Gimana?"

Varen menimbang-nimbang, lalu mengangguk.

"Sounds good."

Briana melepas bando yang terpasang di kepala. Dia lalu beranjak.

"Gue mandi dulu," pesannya. Tiga detik kemudian, dia kembali menoleh untuk memeriksa penampilan Varen. Pandangannya menyipit. "Dan lo juga siap-siap. Jangan sengaja bikin si cewek ilfeel."

Varen mengerling. Dia tersenyum malas.

"Siapa yang bakal ilfeel ke cowok ganteng kayak gue?"

Briana menatapnya datar, lalu beranjak, benar-benar tidak ingin meladeni orang dengan potensi narsis yang tinggi semacam Varen.

Bantuan permintaan itu terdengar mencurigakan. Briana sudah berkali-kali jatuh ke dalam permainan pria ini. Semasa sekolah dan kuliah dulu, dia sudah cukup sering masuk perangkap Varen dan menjadi korban kejahilannya.

Misalkan saja semasa SMA. Varen pernah menantangnya untuk mendapatkan peringkat yang lebih tinggi. Pada masa itu, Varen sama sekali tidak pernah masuk peringkat sepuluh besar. Jangankan sepuluh besar, dia hampir terdepak dari posisi dua puluh besar. Briana, yang mengikuti program akselerasi, selalu mendapat prestasi akademik yang bagus. Peringkatnya bertahan di urutan tiga besar jurusan sosial. Riwayat pencapaian ini sudah pasti menguntungkannya. Dia sudah terjamin menang, sampai kemudian nama Varen diumumkan sebagai pemegang peringkat pertama paralel dari kelas jurusan sains.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang