38 ; Menyerah

11K 1K 77
                                    

PANAS CUMBUAN BERHASIL membuat darahnya berdesir. Briana hampir menggigil ketika telapak tangan Varen bergerilya ke depan, menyentuh perut telanjang dan mengusap sisi pinggangnya selagi masih mendaratkan kecupan di garis rahang dan lekuk leher.

Varen mengungkungnya yang sedang terbaring. Lembut bibir sosok itu terasa geli. Embusan napas hangatnya menerpa kulit, mengirimkan sensasi yang semakin membuatnya meremang.

Briana dilanda gelombang pening akibat seluruh sentuhan ini. Satu tahun melajang cukup membuatnya lupa pada gelitik yang hadir ketika berbagi cumbuan dengan orang lain. Terlebih, dulu Rama memang tak begitu menyukai afeksi fisik. Mereka memang berbagi cumbuan. Tapi, ketika dimakan hasrat, mantan kekasihnya itu lebih senang menyelesaikannya dengan cepat, benar-benar tak berminat untuk menghabiskan waktu bersama hanya untuk berbagi cumbuan ringan.

Berbeda dengan yang sekarang Varen lakukan. Sentuhannya memang jauh dari kata ringan, tetapi dia jelas-jelas menghabiskan banyak waktu untuk sekadar mencumbunya. Dia memancing panas di tubuh Briana dan tidak bertindak dengan tergesa-gesa. Sesap di lehernya menciptakan geli, jilatan lidahnya memberatkan hela napas Briana.

Varen memberi sentuhan-sentuhan itu selagi memerangkap tubuhnya, menahan pergelangan tangannya agar dia tak terlalu bebas bergerak. Dia seolah ingin Briana benar-benar merasakan kedekatan mereka, menikmati tiap momen yang terbagi, meresapi kebersamaan ini.

Sentuhan semacam itu menciptakan gejolak memabukkan di dalam dada. Briana merasakan hasrat yang membara. Dia menggigit bibir bawahnya saat telapak tangan sang pria pada akhirnya meraup gundukan sintal di dadanya. Varen meremas buah dada itu sekilas, menguleni sekal gundukannya selagi menyesap kuat lekuk leher Briana, meninggalkan bekas kemerahan.

Briana menggeliat pelan. Detak jantungnya mulai bertingkah. Hela napasnya memberat. Dia melenguh rendah ketika Varen menarik diri untuk kembali mencicip bibirnya. Tak seperti ciuman yang lalu, ciuman kali ini terasa lebih kasar. Varen beberapa kali menggigit bibir bawahnya. Dia juga menjajah mulutnya dengan lebih leluasa, tak lagi mencoba menahan diri atau berhati-hati.

Lidah mereka saling berbelit, atau mungkin Varen yang menuntunnya untuk mengikuti permainan mulut ini. Briana tak begitu yakin, apakah dia membalas ciuman dengan sukarela, atau Varen yang sengaja memancingnya untuk meladeni cumbuan.

Bangir hidung sang pria menekan sisi wajahnya. Hela napasnya menerpa sisi wajah. Tak seperti Briana, hela napas Varen terkontrol dengan baik. Dia tak merasa kehabisan napas ataupun terengah-engah. Briana tak tahu trik macam apa yang dipunyai lelaki ini. Namun, sungguh, dia sudah tak bisa mengimbangi. Takkan lucu jika dia kehabisan napas hanya karena ciuman. Oleh karenanya, dia meremas kencang pundak sang lelaki. Dia menepuk pundak bidang itu, memintanya untuk menghentikan ciuman.

Ketika Varen menarik diri, Briana langsung mengambil napas dalam. Wajahnya kentara sekali memerah. Dia tampak berjuang untuk sekadar menarik oksigen ke dalam paru-paru.

Kondisi tersebut terlihat sangat lucu sekaligus manis di mata sang pria.

Briana mendengar Varen tergelak rendah. Sosok itu menyingkap anak rambut Briana yang menutup sisi wajah. Dia lalu kembali menunduk untuk memberi kecupan di sudut bibir sang wanita.

"Napas lewat hidung," gumamnya, bernada meledek. "Jangan ditahan napasnya, bisa mati kamu."

Briana merasakan rayapan panas di wajah. Dia menatap Varen dengan kesal.

"Kamu aja yang kayak orang kehausan."

"Karena emang haus," timpal Varen, spontan. Dia menatap Briana lurus-lurus, melihatnya yang masih terbaring di bawahnya. Rambut pendek itu membingkai paras ayu tanpa riasan wajah. Alisnya tebal, bola matanya tampak kecokelatan, sedikit lebih berwarna dari rerata warna mata orang Asia. Dia memiliki bulu mata yang lentik, pipi yang cukup tembam, dan bibir penuh yang tampak manis.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang