47 ; Sisipan Waktu

8.5K 887 81
                                    

SINAR MATAHARI SUDAH memudar. Langit sore tampak makin gelap. Varen memandang jendela tinggi di kantornya selagi mendengar penuturan seseorang melalui sambungan telepon.

Beberapa saat lalu, Dipa menghubunginya untuk memberitahukan perkembangan situasi dari ranjau yang mereka tanam. Pengangkatan isu kebakaran hutan masih berlangsung hingga tiga hari ke depan sehingga total keramaian pemberitaan tersebut telah mencapai lebih dari seminggu. Rentang waktu ini bertahan lebih lama dari perkiraan. Varen merasa puas dengan huru-hara yang dibuatnya. Dia ingin mendengar lebih banyak informasi dari kaki tangannya.

"Identitas kita aman. Sampai sekarang, belum ada yang telepon ke nomor pribadi. Mereka sejauh ini cuma nge-spam dan mengancam lewat pesan medsos. Ancaman itu langsung gue beberin sekalian biar orang-orang tau kalau ada cunguk-cunguk desperate yang kelabakan karena berita ini. Selain itu, paling cuma tawaran wawancara yang masuk. Gue baca ada puluhan reporter yang mau wawancara secara anonim. Katanya lewat rekaman juga nggak apa-apa," jelas Dipa panjang lebar. "Semuanya gue biarin aja, nggak direspons. Tapi, akhir-akhir ini ada yang mulai nawarin duit buat wawancara. Nominalnya lumayan."

Varen bisa membayangkan sosok itu menyeringai penuh antusiasme.

"Dua digitlah, lumayan, apalagi cuma buat ngomong. Gue boleh ambil tawaran ini, Ren?" tanya Dipa.

Varen melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul setengah enam sore. Tanpa berpikir panjang, dia membalas, "Boleh semisal lo nggak mau gue bayar lagi."

Lawan bicaranya langsung berdecak.

"Iya, iya, nggak gue ambil. Gue nggak akan bikin celah yang bisa membuka identitas kita," ungkap Dipa pada akhirnya. "Jadi, intinya hasil pancingan kita udah mulai kelihatan karena ada beberapa pihak yang mulai terancam. Tim gue sempat memantau daftar nama pengusaha yang lo sebut itu. Dan selama tiga hari terakhir, kantor mereka beberapa kali dikunjungi reporter. Gue nebaknya ada yang mau wawancara. Sampai kemarin, belum ada yang menerima tawaran itu. Gue udah periksa database dari masing-masih kantor media yang ngejar-ngejar para pengusaha. Pagi tadi, gue lihat email persetujuan dari salah satu pengusaha. Dari balasan email itu, akhirnya ada yang mau diajak wawancara."

"Kapan wawancaranya?"

"Besok siang. Lo mau ikut denger isi obrolan mereka? Nanti bisa gue akalin kalau mereka udah mengunggah file-nya di penyimpanan online."

"Nggak perlu. Lo kabarin gue aja semisal berita wawancaranya udah ada yang dipublikasikan," timpal Varen. "Penyebaran berita tujuannya cuma buat gertakan aja, supaya penyelenggara proyek panik dan terdorong buat mendengar aspirasi dari pihak lain yang terlibat dalam proyek itu. Wawancara dari salah satu pengusaha sawit nggak akan cukup," terangnya kemudian, belum cukup puas dengan hasil kerja mereka. "Kita butuh orang yang berpengaruh untuk benar-benar speak up, orang yang bisa makin nuntut pemerintah."

Ada jeda yang cukup lama sebelum Dipa membalas.

"Hm, maksud lo presiden?" tanyanya heran.

Varen langsung mendengkus. Dia tertawa.

"Bego, bukan. Kita butuh pihak netral. Presiden masih ada di badan pemerintah," terang Varen. "Perwakilan PBB di Indonesia," sebutnya.

Di seberang telepon, Dipa sudah mengumpat.

"Anjing, gila lo? Anak-anak gue nggak akan bisa ngurus sesuatu sebesar itu. Kami belum jadi mafia."

"Denger gue dulu. Yang gue mau bukan bikin mereka kasih intervensi atas pemberitaan ini. Apalagi yang kita sebar cuma isu kebakaran yang udah lama. Akhir-akhir ini, nggak ada musibah gede—"

"Lo mau kita coba bakar hutan?" tawar Dipa.

Orang lain mungkin akan langsung menolak. Tapi, bagi Varen opsi tersebut masih memungkinkan. Hanya saja, dia menemukan celah dari tawaran Dipa.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang