39 ; Memulai

11.5K 1.1K 160
                                    

LELAH HARI TERAKHIR syuting sudah cukup untuk membuatnya tumbang. Briana tak memerlukan aktivitas lain yang membuat waktu istirahatnya semakin panjang. Berakhir tidur di kamar hotel Varen tidaklah direncanakan. Aktivitas panas mereka juga tak masuk perhitungan. Briana benar-benar kecolongan. Energinya terkuras. Dia pun lupa, dini hari tadi dia tidur jam berapa.

Yang dia tahu hanyalah ... dia kesiangan.

Sinar matahari sudah terik saat dia membuka mata. Tirai jendela sudah dibuka. Kaca tinggi dihiasi sinar mentari.

Pendingin ruanganlah yang membuat kamar ini tetap sejuk, tak seperti panas yang menyengat di luar sana. Kedua mata Briana langsung terbuka. Dia beranjak duduk, kain selimut menutupi tubuh tanpa busana. Dia melebarkan mata ketika mendapati jarum jam yang telah menunjukkan pukul sebelas siang alih-alih pukul delapan pagi.

Briana mengumpat pelan. Dengan sedikit terhuyung, dia bangkit dari tempat tidur. Udara dingin langsung menyapa kulit telanjangnya. Dia sedang mencari keberadaan handuk ataupun jubah mandi ketika mendengar langkah kaki seseorang. Kepalanya menoleh dengan refleks ke sumber suara. Pandangannya jatuh pada sosok pria yang malam tadi sukses membuat sekujur tubuhnya pegal.

Varen, sahabat kurang waras yang kini menjadi kekasihnya.

Oh, benar sekali, kekasih.

Varen sudah berhasil menggiringnya untuk menyetujui hubungan mereka. Padahal, awalnya Briana belum berniat demikian. Dia tak ingin terburu-buru. Namun, lihatlah skema mengesalkan yang dilakukan Varen—dia sengaja menguji kesabarannya dengan rasa cemburu, rasa yang mau tidak mau menyadarkannya bahwa dia juga menginginkan sosok itu.

"What a great view," katanya tiba-tiba.

Briana menatapnya kosong, tak begitu mengerti maksud perkataannya. Sampai kemudian, dia sadar, Varen tidak sedang balik menatap. Pria itu sibuk mengamati tubuhnya ... tubuh polosnya.

Briana menyipitkan mata. Dia menegakkan diri dari posisi merunduk, kemudian segera menarik selimut untuk menutupi ketelanjangan.

Alih-alih menimpali komentar jahil sang pria, dia berujar, "Kamu nggak bangunin aku? Pesawat kami berangkat satu jam lagi!"

Varen mengalihkan handuk yang sempat digunakan untuk mengeringkan rambut.

"Buat apa? Mereka udah check-out," balas Varen santai. "Bella tadi telepon aku pakai nomornya Irfan. Dia tanya kamu di mana. Aku bilang, kamu masih tidur di sini, jadi kusuruh sekalian mereka buat pergi tanpa kamu. Syutingnya udah kelar, kan? Kamu nggak ada jadwal mendesak. Daripada kurang tidur, mending aku biarin kamu istirahat. You deserved it. Jangan selalu dikejar-kejar waktu."

Kerutan di dahi Briana memudar dengan perlahan. Dia mengembuskan napas pelan.

"Kamu yang bikin aku kesiangan. Kalau tadi malam kamu bisa berhenti, aku nggak akan ketiduran di sini."

"Salahku, nih?" ledek Varen. "Kamunya nggak sama-sama mau?"

Ekspresi Briana tampak berkonflik. Detik berikutnya, dia kembali mengembuskan napas pendek selagi mengalihkan pandangan, kentara sekali cukup kesal karena kesiangan. Sosok ini selalu tepat waktu. Suasana hatinya akan terganggu jika rencananya gagal.

"Handuk sama bathrobe-nya di mana? Aku mau sekalian mandi."

Varen beranjak mendekati nakas. Dia membuka lemari kecil itu, kemudian menunjukkan benda yang diinginkan Briana.

Ketika perempuan itu menghampirinya dan hendak mengambil barang yang diinginkannya, dia sengaja mempersulit dengan menjauhkan benda tersebut.

Kekesalan Briana semakin menjadi. Dia tak kuasa untuk tak berucap, "Varen! Nggak usah rese."

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang