24 ; Jarak

6.3K 973 63
                                    

TAK HANYA PESAN singkat yang tak kunjung dibalas. Varen kini juga kesulitan untuk sekadar menemui Briana, padahal mereka tinggal di satu atap yang sama.

Kekhawatiran yang dulu merongrong kini terjadi juga. Satu hal yang tak diprediksi Varen adalah betapa parahnya perubahan perilaku sang wanita. Sudah lebih dari seminggu sejak percakapan panjang mereka. Kini, Briana tampak mati-matian menghindarinya. Dia pergi sangat pagi sebelum Varen benar-benar bangun. Dia juga pulang sangat malam agar tak perlu menyapa Varen yang sudah disibukkan oleh pekerjaannya sendiri.

Semakin dipikirkan, semakin pening kepalanya.

Varen bukan tipikal orang sabar. Dia bukan sosok yang senang diabaikan.

Perilaku Briana yang seperti itu benar-benar mengganggunya.

Dia sudah hendak mengetuk keras pintu kamar Briana ketika mendapati pintu yang terkunci. Lampu kamarnya mati. Ketiadaan suara di dalam sana juga seolah menandakan ketidakhadiran sang pemilik kamar.

Pagi tadi, Varen kesiangan karena baru bisa tidur pukul empat pagi. Ketika bangun, apartemen sudah kosong. Dia kembali terlambat menemui Briana. Saat malam seperti ini pun, dia tak mendapati perempuan itu meski dia sudah sengaja mengalihkan jadwal rapat daring ke waktu lain.

Jarum jam menunjukkan pukul satu malam.

Apakah perempuan ini benar-benar tidak akan pulang?

Varen mengambil ponsel dan segera menekan tombol panggil. Dia berdiri selagi mengetuk-ketukkan kaki, merasa tidak sabar bercampur khawatir.

Ketika nada sambungan telepon berganti dengan suara perempuan, dia langsung mengembuskan napas panjang.

Dia memejamkan mata sesaat, lalu bertanya, "Lo lagi di mana?"

Varen mendengar suara decitan mobil dan keributan lain.

"Sebentar," balas sosok itu, seolah dia hendak mencari tempat yang lebih sepi. Lambat laun, suara ribut-ribut itu mulai reda. "Gue lagi di Bandung, kenapa?"

Varen hampir ternganga.

"Bandung?" beonya. "Sampai kapan?"

"Empat malam mungkin, tergantung selesainya kapan-" Ada suara derungan mobil lagi. Briana berhenti berbicara, menunggu suara itu hilang. "Maksimal bisa seminggu," tambahnya.

Varen langsung mengusap wajah dengan kasar. Dia menarik napas dalam.

"Lo pergi selama itu dan nggak bilang gue?"

"I give you a note."

"Di mana?" tanya Varen dengan spontan. "Lo langsung pergi tiap pagi."

"Di meja makan, kayak biasa-"

"We're modern human. Text or call me at least-"

Ada suara derungan mobil lain, kini disertai tepuk tangan dan sorak sorai banyak orang.

Varen hampir mengumpat.

Ramai sekali lokasi syuting Briana. Sebenarnya, adegan apa yang sedang mereka buat?

Dia kembali mendengar suara sang wanita.

"I'll text you later. Gue harus balik."

Selang satu detik, sambungan telepon telah terputus. Varen menatap layar ponsel dengan kesal. Dia menjatuhkan diri pada sofa, lalu menuturkan umpatan yang sempat ditahannya.

Ketika pagi tiba, suasana hati Varen masih belum pulih juga. Dia berkomentar sarkastis lebih banyak dari biasa-padahal pada hari-hari normal pun ucapannya sudah cukup menguji kesabaran orang-orang-dan dia juga jadi lebih detail mengkritik laporan evaluasi yang disampaikan karyawan utamanya di Paris sana.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang