46 ; Tanggung jawab

7.2K 994 88
                                    

MAKAN MALAM BERJALAN dengan lancar. Seperti yang telah Varen prediksikan, sang ibu menerima kehadiran mereka dengan tangan terbuka. Wajah yang telah memperlihatkan garis senja itu tampak semringah. Ulasan senyum terus menghiasi bibir. Manik matanya berseri-seri. Ibunya terlihat begitu senang hanya karena dikunjungi oleh mereka ... atau mungkin oleh Briana saja?

Varen tidak ingin menebak. Dia sudah tahu, ibunya sangat menyukai sosok itu. Oleh karenanya, dia tak heran jika ibunya kelewat antusias untuk bertemu Briana alih-alih dirinya. Hadiah yang dibawakan Briana—meski sebenarnya dibeli oleh Varen—diterima dengan penuh sukacita. Briana segera dipeluk dan dipersilakan masuk, sementara Varen malah dilupakan begitu saja.

Tabiat itu memantik dengkusan geli darinya. Begitu mereka sampai, Varen ikut bergabung ke dalam. Sang ayah ikut hadir di acara makan malam. Ekspresi wajahnya keras seperti biasa. Namun, dia tetap bersikap baik pada Briana. Selama makan malam berlangsung pun ayahnya masih mau mengajak Briana berbincang.

Singkat kata, acara makan malam mereka berlangsung seperti yang dia harapkan. Tak ada nuansa canggung yang muncul. Segalanya terasa natural dan nyaman. Untuk sesaat, Varen merasa takkan ada masalah yang berarti. Setidaknya, dia merasa begitu hingga sang ayah meminta waktunya untuk berbicara.

Varen mengikuti langkah sang pria paruh baya. Dia menutup pintu geser balkon, lalu duduk di salah satu kursi yang tersedia. Punggungnya bersandar di kursi itu. Dia menghadap ayahnya yang lebih memilih untuk berdiri. Kedua tangan Varen telah terlipat di depan dada.

Dengan nada lugas, dia langsung bertanya, "Papa mau menginterogasi apa?"

Adrianto menatap Varen sesaat. Dia mengembuskan napas pendek.

"Hermawan sudah menghubungiku. Dia bertanya, apa yang sudah kamu lakukan pada Rachel." Pandangannya terpatri pada sang anak lelaki. "Sudah hampir dua minggu Rachel menolak semua tawaran kerja. Dia tidak mau beraktivitas seperti biasa dan memilih untuk mengurung diri di apartemennya."

Varen melirik ke arah lain, sudah lelah sebelum memulai perbincangan.

"Ya udah, terserah dia mau kerja atau enggak. Biaya hidupnya juga udah terjamin, kan?" balasnya tidak peduli.

"Bukan itu masalahnya. Kamu tahu sendiri, Rachel anak yang nekat," tambah Adrianto, nada suaranya cukup keras. "Bagaimana kalau dia sangat terpukul karena kamu tinggalkan dan akhirnya berbuat yang tidak-tidak?"

Varen menaikkan alis.

"Maksud Papa bunuh diri?"

Adrianto tak langsung membalasnya. Pria itu memicingkan mata penuh kalkulasi sebelum kembali angkat bicara.

"Aku tidak mau anakku dituduh sebagai pembunuh," tandasnya.

Varen menatap ayahnya dengan sorot mata kosong. Dia lalu mendengkuskan tawa.

"Selagi aku nggak kena tuduhan berarti nggak masalah?" tantang Varen.

Ekspresi ayahnya mengeruh, seolah tersinggung dengan penuturan sang putra. Varen kini menarik napas pelan.

"Nah, Papa nggak usah khawatir. Rachel memang nekat, tapi dia terlalu egosentris buat menghilangkan eksistensinya sendiri. Dia nggak akan bunuh diri," jelas Varen, penuh keyakinan. "Orang kayak dia sekali-kali harus belajar dengan yang namanya penolakan. Dunia nggak cuma berputar di sekelilingnya aja. Selain itu, aku nggak bertanggung jawab atas kondisi mental dia. Selama ini, dia yang merepotkan aku."

Varen ikut berdiri. Dia berjalan mendekati terali, memunggungi ayahnya sendiri.

"Om Hermawan mengancam Papa?" tanya Varen langsung, memikirkan kemungkinan yang ada.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang