23 ; Dilema

6.1K 859 112
                                    

BRIANA HAMPIR SELALU pulang malam selama seminggu terakhir. Kesibukan kerjanya sangat dimanfaatkan untuk mengalihkan pikiran dari masalah personal. Dia yang selalu serius mengurus kepentingan kerja, kini jadi semakin disiplin. Keperluan lapangan terpenuhi dengan baik. Pekerjaan administrasi pun ikut rampung, meski dia bisa seharian menyutradarai proses perekaman film.

Bella, yang melihatnya lembur di kantor di sela kesibukan syuting, sampai terheran-heran. Ketika menyempatkan diri mengunjungi ruang kantor sang kawan, dia sampai berpesan, "Lo jangan memforsir tenaga gitu, nanti kena tipes. Proyek film ini emang sepenting itu sampai lo kelewat totalitas gini?"

Briana mengalihkan pandangan dari layar monitor. Dia menoleh pada Bella yang tengah bersandar di sisi pintu, menatapnya dengan sorot penasaran.

"Mh-hm, ini proyek gede dengan genre yang baru gue ambil," tuturnya, menyampaikan alasan yang memang benar adanya. "Gue mau semuanya berjalan maksimal, biar kualitas filmnya juga bagus. Tim kami udah ada target jumlah penonton, gue mau Misi Terakhir Letnan tembus satu juta viewers di bioskop."

Bella menaikkan sebelah alis.

"Bukannya terlalu gampang? Film garapan lo selalu booming. Proyek terakhir lo aja kita dapat Piala Citra, kategori film panjang terbaik plus sutradara terbaik. Nggak ada yang meragukan kemampuan lo."

"Bukan meragukan, Ci. Gue yakin hasil kerja gue bagus. Sekarang gue cuma lagi hati-hati karena ini genre aksi pertama yang gue pegang. Penonton film di negara kita juga kurang menggemari genre ini. Mayoritas orang lebih suka drama keluarga, horor, komedi, sama roman. Film aksi yang lagi rame pun karena mengangkat konsep superhero, beda sama proyek yang lagi gue garap. Total penontonnya juga mentok sekitar satu sampai dua juta, beda sama film roman atau horor."

Tak pernah langsung terjun pada proses produksi film di lapangan, Bella pun mengangguk, akhirnya mengerti akar kekhawatiran Briana.

"Gue tetep yakin, lo bisa mencapai target. Selain jadi produser, Fajar juga ikut memantau tim marketing sama promosi, kan?" Anggukan Briana membuat Bella menyeringai. Dia menjentikkan jari. "Nah, aman kalau gitu. Lo tinggal fokus ke produksinya aja, selagi tetap jaga kesehatan. Nggak lucu kalau nanti lo yang malah sakit-sakitan."

Briana tertawa rendah. Dia mengangguk.

Bella berpamitan pulang tak lama setelahnya. Briana kembali fokus pada layar komputer. Dia hendak beristirahat sejenak untuk memesan makan malam ketika Cindy, penanggung jawab StarView Creator Agency, menemuinya.

Briana menoleh ketika melihat kedatangan Cindy.

"Mau cari makan malam juga, Kak?"

Cindy masih berdiri di ambang pintu. Dia menggeleng. Ibu jari menunjuk koridor di belakangnya.

"Ada yang mau ketemu."

Briana menaikkan alis, penasaran. Rata-rata rekan kerjanya selalu menghubunginya dulu kalau ingin bertemu.

"Siapa?" kata Briana seketika.

"Talent baru kita, Rachel," balas Cindy. "Dua hari kemarin dia udah ke sini, tapi lo lagi ada di lokasi syuting, jadi nggak ketemu."

Briana mengerjap. Dia menghampiri Cindy.

"Ada perlu apa emang?"

Cindy mengedikkan bahu.

"Katanya urusan personal. Kata dia kalian udah saling kenal sebelum dia gabung ke sini?"

Briana teringat pertemuan mereka sekitar sebulan yang lalu, saat ketika Rachel menghadiri makan malam berkedok perjodohan Varen.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang