18 ; Keraguan

6K 879 41
                                    

TIGA HARI PENUH Briana pulang larut demi menyelesaikan perubahan mendadak pada pengambilan adegan syuting. Dia dan beberapa rekan kerjanya perlu merancang ulang skema adegan aksi demi keselamatan aktris yang terlibat. Jatah istirahat yang sudah terbatas kini harus kembali terpotong akibat keperluan mendadak semacam ini. Dia diharuskan berangkat pagi dan pulang pagi demi efisiensi waktu. Energinya terkuras habis. Dia hendak bergegas ke kamar dan beristirahat ketika mendapati lampu ruang tengah yang masih bersinar terang.

Keningnya langsung mengerut saat dia mendapati layar televisi yang masih menyala. Di hadapannya, Varen tengah memegang console game untuk mengontrol permainan audio-visual yang ada di hadapannya.

Briana melirik pada jam dinding yang hampir menunjukkan pukul empat pagi. Dia menahan keinginan untuk langsung beranjak ke kamar.

Alih-alih kamar, dia menjatuhkan diri di sofa, merilekskan diri selagi memejamkan mata. Tungkai kakinya menyentuh pundak pria yang sedang duduk di atas karpet bulu. Dia sengaja menyenggol pundak itu dengan lebih keras ketika mendapati sang pria yang seolah tak menganggap kehadirannya.

"Ren," panggilnya.

Yang dipanggil hanya bergumam pendek, seakan mengabaikan.

Briana mengembuskan napas pelan. Dia membuka mata untuk melihat sosok itu.

"Nggak baik main gim sampai pagi," komentar Briana. Dia menegakkan diri dan menepuk bahu Varen. "Tidur, gih. Gue aja kesusahan cari waktu buat istirahat, lo malah buang-buang waktu gini."

Briana mendengar helaan napas sang pria.

"Gue butuh pelepas stres. Dan gue nunggu elo."

Briana mengerjap. Dia menoleh ke bawah, melihat Varen yang sudah balas menatapnya.

"Lo bisa ngobrol sekarang atau udah capek?"

Briana melihat telapak tangan Varen yang sudah memegang tangannya. Gim video di layar televisi kini telah terhenti.

"Mau ngobrol apa?" Dia kembali bersandar pada punggung sofa. "Gue capek."

"Mau tidur?"

"Mh-hm."

Varen menatapnya sesaat, lalu kembali menoleh ke arah televisi.

"Ya udah, tidur aja. Kita ngobrol nanti siang atau sore kalau lo udah bangun."

Briana mengerutkan kening. Dia kembali menepuk pundak sang lelaki.

"Sekarang aja, gue udah penasaran."

"Nanti, kalau lo udah nggak capek."

"Gue masih bisa ngomong tanpa ketiduran," tambah Briana.

"Nanti lo jawabnya ngelantur."

Briana kini ikut duduk lesehan di samping Varen. Lengannya bersinggungan dengan sosok itu.

Dia memeluk kedua lutut, lalu mengistirahatkan sisi wajahnya di sana selagi memandang Varen dari samping.

"Heh, udah gue sempetin tanya juga," komentar Briana. "Ngambek lo?" Dia menyipitkan mata, memperhatikan raut tidak peduli sosok di sampingnya. "Bocah amat."

Tiga detik sebelum Varen pada akhirnya kembali menghentikan gim video untuk balas menoleh pada Briana. Dia menarik napas pendek.

"Bukan ngambek," koreksinya, sedikit menandaskan. "Gue cuma kesel karena lo nggak cerita bahwa lo menerima Rachel masuk StarView."

Briana mengerutkan kening dengan tidak mengerti.

"Pertama, penerimaan itu bukan semata-mata keputusan gue. Tim SV yang memutuskan. Kedua, kenapa gue harus melaporkan masalah perusahaan ke lo?"

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang