21 ; Kekacauan

6.8K 942 97
                                    

"AJAKAN MAKAN MALAM gue yang lo cancel itu karena lo mau jalan sama cowok tadi?" tanya Varen tanpa membalas pertanyaan awal Briana. Lelaki itu melirik dengan ekspresi datar yang tak biasa.

Briana kontan mengerjap, mencoba memahami pertanyaan mendadak Varen.

"Oh, maksud lo Elang?" Dia membenarkan posisi tas selempang di sebelah pundak. "Iya, dia temen yang gue maksud."

Varen mendengkus pelan.

"Yakin temen?" Dia mengembuskan napas pedek. Pandangannya kembali jatuh pada pintu elevator yang mulai terbuka. "Rama juga dulu cuma temen."

Kini Briana mengerutkan kening.

"Karena emang temen. Dia salah satu aktor yang lagi main di proyek film terbaru gue. Jadi—"

"Jadi, sekarang lo mulai naksir ke artis?" potong Varen, tak tahan mendengar itu semua. Dia melangkah memasuki elevator, mendahului Briana.

Briana masih tidak mengerti, Varen tak terdengar seperti sedang bercanda.

"Lo kenapa, deh?" tanyanya seketika. Dia ikut masuk. "Karena dia ikut kerja di proyek film gue, nggak salah dong, kalau kami akrab?"

"Akrab sampai lo nolak ajakan dinner gue demi bisa jalan sama dia?"

Briana menatap refleksi diri mereka pada pintu elevator. Dia melebarkan mata, lalu segera berbalik untuk menghadap lelaki di sampingnya. Kepala agak mendongak, dia menatap mata sosok itu.

"Seriously? Lo kesel cuma karena gue nolak dinner?" Briana mengembuskan napas pendek. Dia lanjut berujar, "Pertama, kita udah sering makan malam bareng. Jadi, harusnya lo nggak mempermasalahkan hal kecil kayak gini. Kedua, dia duluan yang ngajak gue, nggak mungkin kalau tiba-tiba gue nolak. Kenapa lo harus marah?"

Varen menatap Briana sesaat. Mulutnya mengatup.

Dia lalu mengembuskan napas pendek.

"Iya juga, kenapa, ya?" ujarnya sambil lalu. Denting elevator terdengar. Pintunya mulai terbuka. Dia melirik pada perempuan di sampingnya. "Mungkin karena gue nggak suka lo dekat sama cowok lain."

Varen mengatakannya dengan sangat lugas, seolah kalimat itu sudah seharusnya terlontar dari mulutnya. Dia tak memedulikan Briana yang terdiam selagi mencerna makna dari ucapan tersebut.

Tanpa menunggu respons sang wanita, Varen telah beranjak dari elevator, mendahului Briana yang masih belum ikut angkat bicara.

Sebelum pintu elevator kembali tertutup, Briana ikut keluar. Dia melihat Varen yang telah memasuki apartemen. Figur jangkung itu menghilang di balik pintu. Briana lanjut melangkah saat tak lagi melihatnya. Kalimat terakhir Varen kembali terngiang.

Telapak tangannya menggenggam tali tas selempang. Dia menarik napas pelan dan menggeleng.

Omongan-omongan Varen yang terdengar semakin serius itu tidak merujuk pada sesuatu yang sedang Briana pikirkan, bukan?

Varen adalah sahabatnya. Mereka dekat karena ikatan pertemanan. Tak mungkin jika Varen cemburu hanya karena dia makan malam dengan lelaki lain. Sahabat takkan sampai memiliki perasaan berlebihan semacam itu.

Kemarahan Varen pasti dikarenakan rasa kecewa karena Briana tak bisa ikut menemui Kiara yang sudah ingin menemuinya.

Iya, pasti.

Briana mencoba meyakinkan diri dengan asumsi jawaban itu. Dia kembali menarik napas dan memasuki apartemen.

Kegiatannya hari ini tak begitu padat. Dia sebaiknya beristirahat selagi ada waktu. Biarlah Varen mendinginkan kepala dulu. Saat ini, Varen mungkin sedang dirundung masalah lain sehingga suasana hatinya menjadi mendung. Briana akan kembali meminta maaf esok, jika Varen tak lagi marah.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang