54 ; Penyelarasan

8K 855 91
                                    

"THAT WENT PRETTY well. Kayaknya mereka memudahkanku buat dapat restu."

Varen menghampiri Briana yang masih berdiri di belakangnya. Briana terlihat sedang tenggelam dalam lamunannya sendiri. Dia baru tersadar ketika mendapati Varen yang telah berada di depannya.

Briana mengerjap.

"Mm, sepertinya," gumam Briana. "Kalau mereka menyulitkan kamu, kamu nggak akan boleh tinggal di sini. Skenario terburuknya, Prima ngajak kamu sparring. Padahal, kamu tau sendiri gimana dia kalau udah ngajak tanding."

Varen mendengkuskan tawa. Dia menyetujui ucapan Briana.

"Secara fisik, aku bisa mengimbangi dia, lain cerita buat teknik berantem." Varen mengedikkan bahu. "Lelaki sejati nggak akan cari jalan keluar lewat kekerasan," tambahnya, tiba-tiba berlagak bijak.

Briana mau tidak mau ikut tertawa.

"Denger kalimat itu dari mulut kamu rasanya aneh. Kamu bertindak lebih parah dari sekadar kekerasan fisik."

"Selagi tindakanku membuahkan hasil."

Briana mengangguk, sama sekali tidak menyangkal ucapan Varen.

"Aku tau, kayak yang kamu lakukan buat mengembalikan kesempatan emasku yang sempat hilang." Briana sedikit mendongak, dia menatap manik mata kekasihnya. Bibir melengkungkan senyum simpul. "Thank you."

Menaikkan alis, Varen membalas, "Itu aja makasihnya? Nggak ada yang lain?"

Briana melirik Varen dari sudut mata. Dia mendengkuskan tawa.

"My brother just told me to not getting out of control with you," komentarnya, mengingat ucapan Prima. "Tapi, aku mungkin emang perlu berterima kasih dengan lebih layak."

Briana melangkah mendekat dan sedikit berjinjit. Dia mengalungkan kedua lengan di leher Varen, lalu memberi pelukan erat.

"Makasih," gumamnya di dekat telinga sang kekasih.

Varen merasakan hangat napas Briana di sisi lehernya. Dia tak bisa menahan senyum. Ada kelegaan yang menghampiri setelah melihat respons baik perempuan ini. Kekasihnya tak lagi seputus asa kemarin. Binar di matanya telah kembali. Dan hal itu sudah lebih dari cukup untuk Varen.

Varen membalas pelukan Briana. Dia ikut mengeratkannya sampai-sampai sedikit menjunjung Briana dari pijakan. Harum sabun dan sampo khas sang wanita menghampiri indra pencium. Dia menghirup aroma menyenangkan itu, juga memberi kecupan ringan di puncak kepalanya.

"Sama-sama. Mau gimana pun, aku yang perlu mengurus masalah itu buat kamu. Kamu kena masalah itu karenaku." Varen menurunkan Briana dan merenggangkan pelukan. "Seharusnya, kamu nggak perlu berterima kasih."

"Tetap aja, aku sangat terbantu," timpal Briana. Mereka berdua beranjak dari depan pintu. "How you did that though? Gimana cara kamu mempersuasi panitia seleksi?"

Varen mendorong pelan pintu kamarnya. Dia membiarkan Briana masuk dan duduk di tepi ranjang.

"Gampang aja," jawab Varen. Dia membuka lemari untuk mengambil pakaian. "Masalah yang menimpa kamu itu kerjaan Rachel. Tadi pagi, waktu sampai kantor, aku sedikit cari tau dengan nge-track pengirim email yang masuk ke rumah produksimu. Ternyata, alamat email-nya emang asli dan beneran milik badan panitia seleksi film. Waktu aku masuk pakai akun mereka, yang sangat mudah dibobol, nggak ada riwayat pengiriman email ke tempatmu."

"Terus, kenapa kami dapat pemberitahuan palsu lewat surel itu?"

"Karena kalian memang sengaja dikirimin pemberitahuan palsu," terang Varen. "Ada yang meretas akun surel panitia dan menyalahgunakannya dengan kirim informasi palsu, riwayat pengiriman dihapus. Aku tau ini dengan mengembalikan riwayat pengiriman surel, juga dengan nge-track lokasi orang yang mengakses akun surel ini. Adminnya pasti cuma ada di kantor, kan? Aku lihat IP address mereka, dari semua riwayat pengaksesan akun, ada satu orang yang mengakesnya dari luar Jakarta."

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang