41 ; Jatuh

10K 1K 249
                                    

"SEE? APA GUE bilang, lo itu pada akhirnya akan tetap sama dia," ujar Bella ketika dia mengunjungi ruang kerja Briana tepat setelah jam kerja usai. "Kalian udah kelewat deket dari dulu. Gue sama anak-anak lain yang gemes lihatnya. Kenapa nggak jadian aja, daripada susah-susah cari orang lain? Toh, semua gebetan Varen juga mundur sendiri waktu tau dia lebih memprioritaskan lo dibanding mereka."

Briana mematikan komputer kantor. Dia menggeleng pelan begitu mendengar penuturan Bella.

"Kata siapa? Dulu juga tetap ada yang jadian sama dia," timpalnya, tidak percaya.

Bella mengerutkan kening.

"Siapa?"

"Agnes," balas Briana dengan spontan. "Dan mereka pacaran nggak cuma sebulan dua bulan, tapi hampir dua tahun."

Bella tertawa pelan. Dia mengibaskan tangan.

"Akhirnya putus juga, kan? Dari yang gue denger, Agnes yang mutusin. Dia nggak tahan karena Varen terlalu perhatian sama lo, sahabatnya," terang Bella tiba-tiba. "Nggak kayak lo yang jaga jarak waktu lagi deket sama Rama, dia nggak melakukan hal yang sama. Dia biasa aja, tetep jalan sama lo, masih sering mampir ke fakultas lo. Cewek mana yang tahan digituin?"

"Lo denger itu dari siapa, Ci?" Briana menatapnya bingung. "Dia sempat cerita, katanya mereka putus karena dia nggak mau LDR."

"Itu salah satu alasannya," balas Bella. "Alasan lainnya karena yang tadi gue sebutin. My sources always credible. Lo tau sendiri, kan, info yang gue dengar seringnya bukan sekedar gosip?"

Briana terdiam, mulai percaya dengan ucapan Bella. Dia ingat dengan sikap Varen yang tidak berubah meski sudah memiliki kekasih. Pria itu masih dekat dengannya. Kadang, dia bahkan menelepon ketika ingin mengeluh tentang masalah keluarga.

Batinnya meringis ketika mengingat kondisi itu. Tiba-tiba dia jadi merasa bersalah pada Agnes. Bagaimana bisa seseorang kurang mempercayai kekasihnya sendiri untuk berkeluh kesah? Padahal Varen adalah sosok yang mudah terbuka dengan orang lain.

"Gue juga sempat kasih saran ke dia," tambah Bella selagi Briana terdiam. "Sebagai sama-sama perempuan, gue minta dia jaga perasaan pacarnya dengan nggak terlalu dekat sama lo. Kasihan Agnes. Terus, nggak lama setelah kami ngobrol, gue denger mereka putus." Bella mengedikkan bahu. "Cuma kebetulan, kah? Gue nggak tahu pasti, tapi bisa aja iya, dia mempertimbangkan saran gue."

Briana mengembuskan napas pendek. Dia mengangguk, merasa berterima kasih pada Bella yang sudah mengingatkan Varen. Kedekatan mereka sejak masa kanak-kanak mungkin membuatnya lupa bahwa ada saat ketika mereka harus menjaga jarak, misalnya saja ketika masing-masing dari mereka sudah memiliki kekasih. Briana tak begitu memahami pemikiran sosok itu. Namun, ada kalanya dia berpikir bahwa Varen sudah kelewat terbiasa dengan keberadaannya sampai dia lupa bahwa sebagai teman, tetap ada batasan yang perlu dijaga.

Dulu, Varen mungkin sama-sama tidak sadar dengan perasaannya, seperti Briana. Mereka merasa tak perlu menyematkan label tertentu untuk satu sama lain, sampai orang luar datang di antara mereka dan mengganggu kenyamanan yang sudah tercipta.

"Menjalin hubungan sama temen memang lebih susah dibanding sama stranger," ujar Briana pada akhirnya. "Semacam ... gue susah membedakan, dia perhatian karena rasa platonik atau yang lain. Apalagi dia punya banyak teman. Dekat sama orang udah sangat normal buat dia."

Bella mengangguk.

"I agree. Tapi, tetap aja, sebagai orang yang lihat kalian, gue merasa kalau buat Varen lo adalah someone special. Makanya gue nggak heran kalau sekarang kalian jadian." Dia tersenyum geli. "Yang di Bali kemarin gimana? Enak nggak?"

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang