11 ; Terusik

8.7K 1.1K 58
                                    

SEHARIAN INI SUDAH dua orang yang mengobrolkan nama Varen padanya. Yang satu memberi tahu bahwa pertemanan di antara dia dan Varen takkan bertahan lama karena adanya keterlibatan rasa, yang satu memintanya untuk waspada. Briana tidak tahu kebetulan semacam ini memang kebetulan belaka atau ada makna di baliknya. Satu hal yang pasti, dia jadi cukup kepikiran. Orang ini baru tiga hari kembali ke hidupnya. Namun, lihatlah seluruh efek yang dia bawa.

Briana memarkirkan mobil di halaman restoran. Dia mengembuskan napas pelan dan beranjak ke dalam.

Suasana restoran yang menghadirkan ketenangan memberi kelegaan untuk Briana. Dibandingkan tempat makan yang siang tadi dia kunjungi bersama Bella, restoran ini jelas-jelas lebih lengang. Briana bersyukur karena dia bisa mendapatkan udara segar setelah dihadapkan dengan keramaian sejak pagi. Tempat makan dengan harga yang sedikit lebih tinggi nyatanya memberi perbedaan besar untuk urusan jumlah pelanggan.

Interior khas dengan suasana negeri sakura langsung menyapa Briana begitu dia melangkah masuk. Briana mengecek ponsel dan mendapatkan pesan yang menyatakan bahwa Varen sudah datang lebih awal. Dia berjalan melewati beberapa bilik makan dan menghampiri tempat yang sudah dipilih oleh sang kawan.

Suara familier itu menyambutnya.

"Kusut bener 'tu muka. Ada masalah di kantor?"

Briana menarik kursi dan duduk di hadapan sang pria. Dia meletakkan tas di kursi samping. Alunan musik yang terdengar sedikit menguraikan lelah yang dirasakan.

"Siapa yang nggak bakalan kusut kalau harus kejebak macet tiap pulang dan pergi kerja?"

Varen tersenyum malas.

"Hidup di Jakarta, kan, emang gini. Atau lo mau ikut gue pindah ke Paris?" tanyanya main-main.

Briana menyelipkan helai rambut yang menghalangi pandangan ke belakang telinga. Dia melirik Varen sambil lalu, kemudian mengambil buku menu yang sempat dibaca pria itu.

"Itu sih, mau lo. Biar gue bisa gantiin Kiran buat lo repotin."

Varen tertawa rendah.

"Well, enakan ditemenin lo dari pada berandal satu itu." Dia menyangga sisi wajah dengan satu tangan, memperhatikan Briana yang tengah memilih makanan. "Lo mau diantar jemput biar nggak capek?"

"Cari supir pribadi?" balas Briana, terdengar tidak minat. "Sejauh ini, gue nggak ada alokasi dana buat menggaji orang lain. I'm fine on my own."

Varen lantas berdecak.

"Bukan supir pribadi yang dipekerjakan, Bri." Begitu Briana mendaratkan perhatian padanya, Varen menunjuk dirinya sendiri. "Gue. Gue bisa antar jemput kalau lo mau. Kantor gue lewat jalan yang sama kayak jalan kantor lo. Kita juga balik ke apartemen lo, kan? Mendingan berangkat bareng. Jam pulangnya gue menyesuaikan."

"Menyesuaikan? Gimana kalau lo lagi sibuk?"

Varen mengibaskan tangan, menganggap kondisi itu bukan sebagai masalah besar.

"Gue belum sibuk sampai harus nginep di kantor," balasnya berlebihan. Dia lalu menaikkan kedua alis selagi menatap Briana dengan sorot meledek. "Apa sih, yang nggak buat Briana?"

Mengetahui tabiat sang pria, Briana kontan menimpali, "Lo nggak ada niat mau minta sesuatu sebagai bayaran, kan?"

Kini Varen tertawa.

"Tau aja lo."

Briana mengembuskan napas pendek.

"Apa?"

Varen menegakkan diri dan memandang lurus sang wanita.

"Launching cabang E-merce bakal bikin gue sibuk mendatangi acara-acara pesta formal. Entah dari kami yang mengadakan, atau ada perusahaan lain yang mengundang gue ke acara mereka. Gue nggak mau ke sana sendiri atau cuma sama orang kantor." Dia menjentikkan jari dan menunjuk Briana. "Be my partner every time I attend those events."

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang