8 ; Ibu

8.8K 1.2K 125
                                    

DEWI HAPSARI KADANG bertanya-tanya, cara asuh model apa yang salah sampai-sampai dia mempunyai anak laki-laki seperti Varen?

Selama ini, anak keduanya itu memang tidak terlibat tindakan kriminal. Dia juga bebas dari rumor buruk yang biasanya selalu mengintai para anak pejabat dan konglomerat. Dibandingkan anak dari para kenalan arisan sosialitanya, Varen sangatlah normal. Dia mempunyai catatan akademik yang lumayan, mau meneruskan pendidikan pascasarjana, hingga mampu membangun perusahaan sendiri.

Sebagai seorang ibu, siapa yang tidak bangga jika anaknya mempunyai semua pencapaian itu?

Varen sangat bisa dibanggakan, kalau saja dia lebih penurut, menghormati orang tua, dan menyayangi ibunya!

Benar sekali. Varen akan menjadi anak idaman kalau tidak terus-terusan merantau di luar negeri dan mulai bersedia untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga, bukan malah terus-terusan mengabaikannya.

Jadi, saat batang hidung anak lelakinya itu muncul, dia langsung memelintir telinga bebal anak nakal ini, tidak peduli dengan protes kesakitan ataupun bujukan manis yang memintanya untuk bersikap lebih tenang.

Berang, dia sangat berang pada anak keduanya.

"Akhirnya kamu inget rumah?!" seru Dewi dengan kesal, teramat kesal. "Pulang setahun sekali, mampir cuma satu jam, ditelepon nggak pernah nyaut! Kamu nggak sekalian hilang di segitiga bermuda?! Jangan-jangan, kamu balik karena udah buntingin anak orang?!"

Varen tak kuasa menahan ringis. Tubuhnya yang tinggi menjulang kini dipaksa menunduk, tak bisa melawan kehendak ibu tercintanya.

"Mama emang nggak mau cucu baru? Anak Larisa udah mulai gede, kan? Udah nggak lucu lagi? Bukannya bagus kalau aku bawa cucu buat-" Jeweran itu menguat, Varen kembali meringis. Dia mengangkat tangan. "Nggak ada yang hamil, sumpah, nggak ada yang hamil."

Pelintiran di telinga Varen mengeras dengan lebih kejam, sampai-sampai telinganya merah. Dia perlu melontarkan pujian-pujian manis pada sang ibu untuk meminta belas kasihan.

Dewi melepaskan jeweran setelah merasa puas. Begitu membebaskan sang anak, dia menepuk dan merapikan pakaiannya sendiri, lalu merentangkan tangan untuk meminta rangkulan.

Varen sudah memahami tabiat unik ibunya. Dia mendengkuskan tawa dan melempar pelukan. Selagi mengusap punggung yang tak lagi muda itu, dia berkata, "Bilang aja kalau kangen, Ma, nggak usah malu-malu kucing."

Varen berhasil menghindari injakan kaki yang hendak diturunkan padanya.

Dia melepas pelukan sambil mengulas senyuman.

"Yang penting aku pulang, kan?"

Dewi mengembuskan napas pendek. Dia merapikan baju dan menepuk lengan keras anaknya.

"Makin tinggi aja kamu. Rambutmu juga. Apa susahnya potong rambut?"

"Musim salju di Paris dingin, enakan rambut panjang," balas Varen, setengah membual. Sebenarnya dia hanya malas memotong rambut. Tampilan yang kelewat rapi terlihat aneh untuknya. Dia tidak mau semakin memperdaya orang-orang sekitar.

Kepala menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan ruangan lebar dan tinggi yang hanya diisi oleh kesenyapan.

"Nggak ada orang rumah?" tanyanya.

Dewi mengajak Varen masuk.

"Papamu masih gila kerja kayak biasa. Kakak perempuanmu udah tinggal sama suami setelah anaknya bisa berjalan. Adikmu belum liburan kuliah. Dia masih di Melbourne." Dia menoleh, melihat Varen yang berjalan menjejerinya. "Ini yang bikin mama minta kamu pulang. Ibumu kesepian. Kamu masih mau pergi-pergi lagi?"

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang