40 ; Dunianya

8.7K 1K 130
                                    

BRIANA MENOLAK UNTUK tinggal di kamar Varen begitu mereka kembali ke hotel. Saat itu, hari sudah cukup malam. Varen masih ingin melihat wajah kekasihnya. Tidur ditemani seseorang jelas-jelas lebih hangat dan nyaman dibandingkan tidur sendiri. Akan tetapi, dia tidak yakin jika mereka memang hanya akan berakhir tidur. Esok hari, mereka mempunyai jadwal penerbangan pagi. Tidak lucu jika dia dan Briana kembali kesiangan karena jam tidur yang kurang. Guna mencegah ketidaksengajaan semacam itu, dia pun mencoba menekan keserakahannya dan menuruti keinginan sang wanita.

Kamar hotelnya terlihat lebih luas tanpa kehadiran orang lain. Varen masih sedikit menyayangkan hal ini, tetapi dia segera mengenyahkan pemikiran tersebut. Dia tidak boleh melewati batas dengan memaksakan kehendak, apalagi setelah dia menggiring Briana untuk segera menyetujui hubungan mereka.

Guyuran air dingin berhasil meluruhkan penat yang dirasakan. Varen mematikan kran shower dan mengeringkan tubuh. Dia baru selesai mengenakan pakaian ketika mendengar getaran ponsel.

Dua hari lalu, sebelum terbang ke Bali, dia sudah meminta sekretarisnya untuk mengalihkan seluruh pertemuan luring ke tanggal lain. Pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus berada di kantor juga sudah selesai. Keningnya mengerut ketika mendapati panggilan mendadak semacam ini, padahal jam kerja juga sudah lewat. Dia hendak menolak panggilan ketika mendapati nama kontak Dimas di layar ponsel.

Dimas tidak pernah menghubunginya hanya untuk melaporkan hal-hal sepele. Varen mengembuskan napas pelan. Pada akhirnya dia menerima panggilan, meski sedang tidak ingin memikirkan masalah perusahaan.

"Kenapa?" tutur Varen begitu menerima telepon.

Dimas membalas dengan suara yang mengindikasikan rasa lelah.

"Ada lima calon investor besar yang nggak jadi beli saham."

Varen terdiam, dia melihat jendela yang menampakkan langit gelap di luar sana.

"Siapa aja?"

"Investor lokal yang udah mau beli saham dengan jumlah besar," timpal Dimas, dia lanjut menyebutkan nama para calon investor. Nama-nama itu terdiri dari dua orang pengusaha besar, seorang artis kondang, dan dua anak pejabat pemerintah yang baru menggeluti bisnis.

Mereka semua adalah klien baru. Kemungkinan besar, mereka juga belum begitu mengetahui sepak terjang E-merce.

Varen duduk di tepi ranjang. Dia terlihat kelewat tenang meski baru saja kehilangan lima sumber dana perusahaannya.

"Ada lagi?"

"Ada lagi?" ulang Dimas, datar. "Menawarkan saham nggak segampang itu, Ren. Kita baru kehilangan lima klien utama. Dan lo sesantai ini?"

"Terus, mau gimana? Gue harus maksa mereka buat invest?" Varen melirik jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. "Kalau nggak ada lagi yang mau lo sampaikan, gue tutup teleponnya."

Dimas menarik napas pelan.

"Ini berita buruknya," timpal lelaki itu. "Riwayat sengketa hukum yang waktu itu kita obrolin udah kesebar di media. Berita baru inilah yang bikin mereka ragu buat beli saham kita, sampai akhirnya ada yang cancel. Beritanya udah masuk The Economic, coba lo baca artikelnya."

Platform berita yang disebutkan Dimas adalah salah satu platform berita internasional ternama di Indonesia. Mereka hanya menyediakan artikel berbahasa Inggris dengan target audiens yang ditujukan untuk para warga negara asing. Kebenaran berita di platform tersebut tak pernah diragukan. Akan sangat normal jika para calon investornya terpengaruh oleh pemberitaan itu.

Kening Varen mengerut samar begitu mendengar penuturan Dimas. Dia segera membuka laptop untuk mengakses laman situs yang memuat berita tersebut.

Tiga menit dia membaca keseluruhan artikel. Ketika selesai membacanya, dia langsung mengembuskan napas panjang, menahan rambatan kesal.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang