61 ; Bayaran

6.2K 746 69
                                    

KETIKA EDWARD MEMINTANYA untuk bertemu, Varen tahu, Djuanda Sambara sudah memakan umpan darinya. Kekacauan di acara Evaluasi Amdal dan kegagalan kerja sama Kardinal Agro dengan badan pemerintah telah membuahkan hasil. Edward—yang sangat enggan kembal ke kota kelahiran—dipaksa datang. Varen, secara tidak langsung, berhasil menyeret Edward untuk kembali menapaki kota ini.

Nada bicara Edward terdengar penuh emosi. Sosok itu memang tidak membentak ataupun meninggikan suara. Namun, ketika mereka bercakap-cakap, Varen tahu bahwa Edward sedang sangat geram. Intonasi sinisnya amat kentara dan Varen tidak sabar untuk melihat raut marah akibat kekalahannya.

Meluangkan waktu dengan cuma-cuma hanya untuk kembali ke Jakarta tampaknya sudah cukup membuat Edward kesal. Nasihat dan perintah dari sang paman semakin menambah gelombang emosi itu. Tanpa melihat langsung, Varen yakin, Edward sangat bernafsu untuk memberi bogeman mentah padanya.

Berkelahi secara fisik akan sangat menguras tenaga. Guna mengantisipasi kemungkinan tersebut, Varen mencari tempat ramai sebagai lokasi pertemuan mereka. Kemungkinan untuk mendapat bogeman mentah memang masih ada. Namun, persentasenya akan mengecil. Bagaimanapun juga, Edward bukan seperti Rachel. Dia cukup mengkalkulasikan tindakan. Membuat keributan di depan publik tentunya akan menciptakan masalah tambahan. Varen tahu, Edward takkan mengambil keputusan buruk semacam itu.

Keraguan Edward untuk menyetujui lokasi pertemuan sudah cukup membenarkan prediksi Varen. Dibandingkan tempat ramai, Edward memintanya untuk memilih lokasi yang lebih sepi.

"Kasih tau aja lo kosong jam berapa. Entar gue yang mampir ke kantor lo," ujar Edward saat mereka bercakap-cakap melalui telepon.

Varen tentunya tidak menyetujui penawaran Edward. Dia tidak mengubah lokasi pertemuan dan berujar bahwa dia akan menemui Djuanda Sambara secara langsung jika Edward memang enggan bertemu dengannya.

Ancaman halus itu cukup untuk membungkam sosok yang lebih tua. Edward mengumpat dan memutus panggilan setelah memberi persetujuan singkat.

Sore itu, Varen mengulum senyum penuh kemenangan. Dia kemudian memanggil Dimas untuk merampungkan masalah perizinan usaha yang sudah sekian lama terhambat. Keberhasilan rencananya telah memaksa Djuanda Sambara untuk bergerak. Hubungan direktur utama perusahaan sawit itu dengan salah satu orang kepercayaannya di pemerintah sudah mulai memburuk. Sejauh ini, Varen telah mendengar penurunan jabatan anak Widoyo. Situasi ini membuktikan kebenaran prediksi Varen tentang dampak dari rentetan rencananya.

Widoyo, sang pejabat, akan kehilangan kepercayaan dari Djuanda Sambara akibat keteledoran putranya.

Varen akan menggunakan kesempatan ini untuk mendorong Widoyo agar berhenti bermain-main dengan perusahaannya.

"Perizinan kita terhambat karena dia?" tanya Dimas dengan nada heran. "Beliau ini wakil ketua dari Komisi VI Dewan, lho. Lo minta gue ketemu dia gitu aja?"

Varen mendengkuskan tawa berkat nada heran Dimas.

"Bukan 'gitu aja'. Gue udah menghubungi orang di kantornya, sekalian sama asistennya. Kita tinggal ngirim perwakilan buat ketemu dia secara langsung," jelas Varen. "Lo tinggal datang ke kantornya. Kalau dia tau lo dari E-Merce, dia pasti akan langsung denger semua omongan lo. Besok gue kirimin poin-poin yang perlu lo diskusikan sama dia."

"Harus serinci itu? Bukannya kita cuma perlu surat perizinan usaha?"

Varen bersandar pada punggung kursi. Dia merenggangkan tubuh, sudah mulai merasa penat dan ingin segera kembali ke apartemen.

"Mm, gue nggak akan ambil jalan seribet ini kalau output-nya cuma perizinan," balas Varen sambil lalu. Dia mulai mematikan perangkat komputer kantornya. "Macetnya perizinan ini udah bikin kita rugi. Beberapa investor ada yang batal invest gegara masalah ini. Kita perlu minta pertanggung jawaban dari orang itu."

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang