7 ; Seatap

11.3K 1.2K 192
                                    

PENCAHAYAAN SEDIKIT REMANG. Jejeran lilin bertengger di atas meja, dipasang khusus di dalam gelas untuk memperlihatkan sisi artistik.

Candle light dinner, mereka menyebutnya. Acara makan malam semacam ini biasanya akan menumbuhkan suasana romantis. Pengaturan meja dan penerangan cahaya yang dibuat sedemikian rupa dapat memberi kesan intim untuk mendekatkan pasangan.

Sang ibu pasti sengaja memilih tema makan malam semacam ini untuk mereka. Dia mengharapkan kencan buta yang diatur untuk anaknya dapat berjalan lancar dan membuahkan hasil.

Hanya saja, yang sekarang dirasakan Varen tidaklah demikian. Makan malam romantis tidak serta merta menumbuhkan kesan romantis.

"Jadi, lo udah ketemu nyokap juga?" Varen bertanya pada perempuan manis di hadapannya.

Rachel, perempuan yang sedang menyantap makan malam bersama Varen, mengangguk.

"Udah, sekalian buat kasih oleh-oleh. Aku lama banget nggak ketemu Mama Dewi," ceritanya. Dia tersenyum simpul. "Untung aja mama kamu masih sangat welcome, seperti biasa."

Varen mengerling rendah.

"Of course. Dia baik ke semua temen gue."

Kali ini Rachel tertawa. Dia meletakkan pisau makan yang sempat digenggamnya.

"Kamu, tuh, masih aja. Semua orang di dekatmu kamu anggap teman?" Dia memandang Varen dengan sendu. Bibir dengan polesan lipstik merah mengulas senyuman masam. "Temanmu ini termasuk orang yang udah pernah tidur bareng sama kamu, ya, Ren? Makanya kamu sebut aku teman?"

Varen tidak jadi mengiris hidangan daging di hadapannya.

"Lo kenapa ikut balik ke Jakarta?" tanyanya, tak menggubris ucapan awal sang wanita. "Kerjaan di London udah nggak menarik?"

Senyum Rachel mulai memudar. Dia sudah ikut berhenti makan.

"Pekerjaanku fleksibel," terang Rachel dengan nada rendah. "Kamu seharusnya udah tahu alasanku balik." Dia menegakkan diri dan menatap Varen lurus-lurus, tampak berharap. "Papa kamu udah ketemu orang tuaku. Mereka udah bicara. Kamu tahu, kan? Kita harus tetap tunangan?"

Dia mengulurkan tangan dan menyentuh punggung tangan Varen. Dengan lembut, dia berujar, "Papamu udah kasih kebebasan buat kamu melalui E-merce, dia biarin kamu nyoba bikin startup sendiri tanpa bantuannya. Tapi, pikir lagi, Ren. E-merce bakal bertahan sampai kapan? Baru-baru ini, tren startup makin turun. Lay off di mana-mana. Kamu sendiri lagi mikirin permasalahan ini, kan? Untuk sekarang, kenapa kamu nggak jual semua saham E-merce dan ikut papa kamu buat mengelola Mandala? Bank yang dibuat kakek buyut kita jelas-jelas lebih menjamin karier. Kiran aja udah balik ke perusahaan keluarganya. Kamu mau tetap mengelola E-merce sendirian?"

Rachel menggeleng pelan. Dia meremas telapak tangan Varen.

"Keluarga besar kita udah saling kenal, Ren. Kamu nggak bisa terus-terusan lari," tambahnya. "Dari dulu kamu pasti udah tahu, pada akhirnya kita bakal dijodohkan."

Varen melihat genggaman Rachel di punggung tangannya. Dia menarik diri dan melepaskan genggaman itu. Kursi yang diduduki sedikit dimundurkan, dia bersiap-siap untuk pergi.

"Lo ke sini pakai mobil sendiri?" tanyanya, tak ingin membahas penjelasan panjang Rachel. Dia membenarkan kerutan yang tercipta di lengan blazer, kemudian kembali menatap sosok di hadapannya. "Atau mau dipesanin taksi?"

Rachel menatapnya lurus-lurus. Mulutnya mengatup.

"Kamu mau langsung pergi?" tandasnya. "Tiga tahun ini, aku udah kasih space buat kamu biar kamu lebih siap waktu orang tua kita bahas perjodohan. Sekarang pun kamu masih mau menghindar?" Dia menggigit bibir bawahnya, menahan ledakan emosi. "Apa yang kamu lihat dari si Briana itu? Apa yang kurang bagus dari aku?"

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang