35 ; Tekad

6.6K 970 65
                                    

"KITA CUMA PUNYA satu jam. Gue mau sekali take langsung jadi. Pakai jalan raya gini macetnya bisa nyampe berjam-jam, sebaiknya kita meminimalisasi protes dari pemakai jalan. Selain itu, truk dan mobil-mobil ini juga nggak ada gantinya. Sekali ditabrak ancur! Untuk kamera bakal kita pasang di lima sudut sekaligus, nggak usah peduliin kamera yang kelihatan ngejar-ngejar kalian. Yang penting bagian nabrakin mobil eksekusinya lancar. Ada yang mau tanya?"

Sinar matahari sedang sangat terik. Puluhan kru dan pemain film sedang melakukan briefing akhir dari pengambilan adegan yang hendak dilakukan. Peralatan syuting tampak memenuhi badan jalan yang sudah diblokade. Mulai dari kamera berlensa panjang, tripod, rig camera, hingga beberapa buah crane camera yang telah terpasang di atap mobil.

Hari ini, Briana dan para kru akan melakukan syuting sebuah adegan terpenting dari film ini. Lokasi yang digunakan adalah jalan raya yang berada di tengah-tengah kota. Properti yang dipakai juga tak tanggung-tanggung. Mereka memerlukan biaya produksi yang besar untuk semua properti itu, mulai dari tiga buah truk besar hingga tiga mobil-mobil terbaru yang hanya akan dipakai untuk adegan kecelakaan.

Total biaya tersebut cukup fantastis jika dijumlahkan dengan tarif perizinan lokasi untuk menggunakan jalan raya ini. Berbagai rumah produksi film tahu bahwa tarif lokasi syuting di Jakarta masih sangat tinggi. Briana rela mengeluarkan biaya besar demi memaksimalkan hasil film mereka.

"Jangan diingetin lagi, Kak! Gue jadi nervous!" seru Putra, salah satu aktor termuda mereka. "Gue baru latihan nyetir truk minggu kemarin, buset. Disuruh sekali take nanti truknya udah gue tabrakin dulu sebelum kameranya nyala!"

Ade, yang merupakan sinematografer utama di film ini, langsung menimpali, "Santai aja, Putra! Briana tajir. Dia bisa beli satu truk lagi kalau lo gagal ambil adegan dalam sekali take. Cari bekasan yang tiga ratus juta pasti ada, lah. Iya, kan, Bri? Nanti anak properti tinggal moles ulang biar truknya kelihatan lebih bagus."

Briana menoleh pada pria berambut keriting itu. Dia mengibaskan tangan.

"Ngarang lo. Jangan dengerin Bang Ade. Kalian cukup akting dengan maksimal. Jangan terlalu nervous, anggap aja nyetirnya kayak lagi dikejar-kejar polisi beneran. Gue yakin kalian bisa."

"Justru itu, Mbak!" seru aktris utama mereka, Bunga. "Gue semobil sama Putra, nih. Kalau dia kacau, gue ikut kenapa-napa."

"Santai, Bunga. Nanti gue nabrakinnya pelan-pelan."

"Mana bisa!" tutur Bunga saat itu. Dia berdecak dan kembali menoleh pada Briana. "Putra nggak boleh diganti sama Elang aja, Mbak? Keselamatan gue lebih terjamin kalau sama Elang."

"Gue mau nabrakin truk sampai mobil di depannya kelempar, Bunga. Masih mau?" ledek Elang.

Di antara para pemain utama, Bunga memang paling sering diledek oleh pemain lainnya. Briana menggeleng pelan saat melihat kelakuan aktor dan aktrisnya. Dia menepuk tangan untuk kembali mendapat perhatian orang-orang itu.

"Putra kalau udah kepepet performanya naik! Nggak usah khawatir," ungkapnya, menenangkan Bunga. "Kalian fokus aja. Gue yakin semuanya lancar." Dia lalu mengalihkan pandangan pada Rangga yang sedang membaca ulang naskah film. "Lo gimana, Ngga? Aman?"

Rangga mendongak. Dia segera mengangguk.

"Gue sama Bang Elang, seharusnya aman."

Tak jauh darinya, Bunga kembali melenguh khawatir. Briana membiarkan Putra dan Bunga kembali terlibat cekcok ringan. Dia menghampiri Ade yang sedang memeriksa peralatan syuting, memastikan kamera mereka berfungsi dengan baik.

"Kita bakal butuh kamera cadangan nggak, Bang?" tanyanya, memastikan.

Ade berkacak pinggang. Dia menunjuk beberapa kamera yang berdiri berjejeran.

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang