29 ; Percikan

7.7K 942 118
                                    

MALAM TADI, BRIANA ketiduran sampai dia tidak sadar bahwa dia terlalu lama bersandar di pundak Varen. Hangat yang terbagi terlalu nyaman. Briana tidur sangat lelap sampai dia tidak tahu kapan Varen mengubah posisi duduk mereka, dari yang awalnya bersandar menjadi sama-sama berbaring di sofa.

Lelaki itu ada di belakangnya, sementara dia meringkuk dengan nyaman di dekat dada bidang sang pria. Ketiadaan pasangan selama satu tahun terakhir membuat Briana lupa betapa nyamannya direngkuh oleh orang lain. Dia terlena dan tidak langsung menyadari kejanggalan yang ada. Barulah ketika dini hari, dia terbangun. Varen masih ada di belakangnya, memeluknya, seolah tindakan itu memang lumrah untuk dilakukan.

Varen beruntung karena Briana bisa menekan rasa terkejutnya. Dia tidak refleks mendorong ataupun menendang sang pria. Alih-alih bertindak waspada, Briana hanya menatap dengan kosong. Detik berikutnya, dia mencoba beranjak dengan lebih hati-hati, meninggalkan Varen yang masih terlelap di ruang tengah.

Briana masih berusaha memproses tindakan Varen padanya. Dia tidak marah dengan perlakuan itu, tetapi di saat yang sama dia tahu bahwa tindakan tersebut tidaklah benar. Sejak dulu mereka memang sudah dekat dan nyaman dengan keberadaan satu sama lain. Akan tetapi, dekat yang dulu tidaklah seperti sekarang. Seorang teman tak seharusnya bertindak demikian. Sepasang sahabat tak seharusnya melewati batasan.

Briana menyalakan lampu tidur kamarnya. Dia berbaring di tempat tidurnya sendiri, merasakan dingin begitu tubuhnya menyentuh permukaan ranjang yang tak ditempati.

Sofa di ruang tengah jauh lebih nyaman dibanding tempat tidurnya.

Briana menarik napas pelan dan menggeleng.

Apa pula yang dia pikirkan?

Selimut direntangkan. Dia mencoba menghangatkan diri di bawah kain hangat itu, tanpa sadar mengharapkan kenyamanan yang sama seperti saat dia merasakan rengkuhan sahabatnya.

oOo

"Mau nggak mau perlu lo handle langsung. Udah lewat dua bulan, kan, sejak lo sampai Jakarta? Ngapain aja lo di sana? Ngapelin Briana?"

Panggilan video di layar komputer menampilkan figur temannya.

Varen sedang berada di kantor. Dia tengah menghubungi Kiran untuk membahas masalah pendirian cabang E-merce yang belum mendapat titik terang. Meski telah hengkang dari posisi direksi, Kiran tetaplah salah satu pendiri perusahaan unicorn ini. Sahamnya masih tertanam di sana. Varen juga masih sering menghubunginya jika dia membutuhkan partner diskusi. Contohnya adalah sekarang.

Dia tertawa atas ucapan Kiran.

"Lo kira gue nganggur, Nyet?" timpalnya. "Gue udah turun tangan, tapi kami belum dapat kabar lanjutan. Hari ini gue udah nyuruh Dimas buat mengurus itu lagi. Kalau memang masih susah, gue yakin ada masalah lain yang mempersulit kami. Unicorn di sini udah ada banyak. Owner-nya bukan bukan cuma dari orang lokal, ada juga yang udah jadi milik luar. Duit mereka mungkin udah banyak yang masuk ke dompet pejabat."

"Jadi, lo juga mau nyuap?" balas Kiran dengan nada tertarik.

"Enak aja, kagaklah. Rugi gue. Dana dibuang-buang buat kasih makan tikus kota." Varen bersandar pada kursi kerja. Dia memutar-mutar pena yang terselip di jemarinya. "Harusnya lu yang ngurus ini. Posisi direksi cocoknya di elu bukan gue."

"Bukan cocok-cocokan, lo aja yang males, Kambing," tandas Kiran, tahu betul alasan di balik pemilihan jabatan direktur perusahaan mereka. "Lo nggak mau jadi ikon perusahaan."

"Karena bisa bahaya kalau ada yang tau dulu gue pernah ngapain aja. Teknisi tuh harusnya kerja di belakang layar." Varen berdecak. "Selain itu, kalau nggak jadi direktur, gue juga bisa kasih alasan ke bokap kalau gue memang nggak tertarik jadi leader. Tapi, sekarang gue nggak bisa kasih alasan itu lagi."

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang