10 ; Abu-Abu

8.7K 1.1K 96
                                    

PERIZINAN PEMBUKAAN CABANG perusahaan sangatlah penting untuk kelangsungan pekerjaan Varen saat ini. Dia merasakan sengatan pening ketika mengetahui bahwa perizinan yang telah diurus selama lebih dari setengah tahun ternyata belum juga turun.

Dua orang rekan kerjanya duduk dengan ekspresi lelah yang sama seperti Varen. Seorang lelaki mengembuskan napas panjang, seorang wanita memilih untuk merilekskan diri dengan bersandar pada punggung sofa. Hasil ini memenuhi ekspektasi buruk mereka. Sejak awal, tiga orang itu tahu pada batu sandungan yang menghadang.

Varen memainkan sebuah pena di antara jemari. Dia menatap kedua rekan kerjanya selagi menyimpulkan laporan yang barusan disampaikan.

"Jadi, intinya kita belum bisa mulai kerja karena perizinan ini belum turun," awal Varen, mulai merangkum. "Baru ada Tanda Daftar Perusahaan, NPWP, Surat Izin Usaha Perdagangan, dan Izin Mendirikan Bangunan. Sisanya, semacam Izin Usaha, ekspor-impor, dan perizinan terkait investor asing belum didapat. Padahal kita harus selesai mengurus itu semua biar bisa mulai masuk hari efektif." Varen menatap dokumen cetak yang tergeletak di atas meja kaca. Dia mendengkuskan tawa, tawa yang tidak dipahami oleh kedua rekan kerjanya. "As expected. Mengurus perizinan di sini emang lebih dari ribet."

Lelaki berambut cepak yang duduk dihadapan Varen tampak menghela napas. Dia menyilangkan kedua lengan di depan dada.

"Lo tau hal gini bakal kejadian, tapi masih aja mau buka cabang di Indonesia. Padahal perusahaan induk yang di Paris juga udah cukup. Kita cuma perlu mengembangkan produk, jasa, dan fitur yang ditawarkan, bukan buru-buru memperluas region perusahaan. Kalau mau ekspansi, tunggu sepuluh tahun lagi, biar E-merce udah lebih advance dan dilirik sama negara lain yang lebih maju. Singapura misalnya. Kenapa malah balik ke sini?"

Perempuan di samping lelaki tadi ikut menimpali, "Aku setuju sama Dimas. Unicorn di Indonesia udah banyak dan akhir-akhir ini lagi pada kolaps. Investor mereka pasti mulai ragu buat invest lagi karena modal yang dikasih belum juga balik. Pilihan terbaik tetap stay di Paris, persaingan di sana lebih besar karena ada banyak e-commerce yang udah populer. Kita jadi bisa lebih berkembang."

Varen amat memahami argumen yang dilontarkan dua orang kepercayaannya ini. Bagaimana tidak, mereka sudah mendiskusikan hal tersebut sejak satu setengah tahun lalu, saat Varen menyampaikan keinginannya untuk membuka perusahaan cabang di Indonesia. Telinganya sudah hafal pada seluruh alasan yang disampaikan Dimas dan Natalie.

Untuk menanggapi ucapan tersebut, dia pun—untuk ke sekian kali—berkata, "Apa enaknya main aman? Bakal lebih memuaskan kalau kita bisa sustain di tengah semua masalah ini. Jumlah e-commerce yang beroperasi di Indonesia itu termasuk tinggi di wilayah Asia Tenggara. Pasarnya kompetitif. Kita tetap bisa berkembang di sini, selagi perusahaan induk di Paris tetap jalan kayak biasa." Varen menunjuk dua rekan di hadapannya. "Dan gue cuma ambil lo dan Natalie buat jadi key people cabang Indo. Paul sama Alex masih stay di Paris, puluhan pegawai terbaik juga di sana. No worries."

Varen menatap lelaki berambut cepak dan perempuan berparas Indonesia-Kaukasia itu dengan sorot setengah mengejek. Dengan santainya, dia berujar, "Bilang aja kalian masih nggak rela gue seret ke sini." Dia lalu berdecak dan menggeleng dengan dramatis. "Gini, nih kelakuan warga negara yang udah kehilangan patriotisme!"

"Nonsense," balas Natalie, kesal. Dia menyilangkan kaki dan memejamkan mata sesaat. "Kalau udah begini, kamu mau apa? Menunggu sampai perizinan kita turun?"

Varen mengangguk ringan.

"Mau gimana lagi?" Dia menunjuk Natalie dan Dimas dengan bergantian. "Kalian juga nggak sepenuhnya nganggur. Kita masih tetap ngurus kepentingan perusahaan induk dengan kerja remote."

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang