AYAHNYA MARAH KARENA keputusan sepihak Varen untuk menolak perjodohan. Fakta ini tak begitu mengejutkan. Varen sudah siap untuk menghadapi ayahnya. Dia tahu, lambat laun dia tetap harus bicara empat mata dengan sang orang tua. Dia tak bisa memperparah kerusakan hubungan mereka berdua, kecuali jika dia memang ingin membuat sedih ibunya.
Ruang kerja sang ayah masih sama seperti tahun-tahun lalu. Varen mengamati buku-buku lama yang tertata pada jejeran rak. Meja kerja ayahnya tampak rapi dan bersih. Beberapa foto keluarga menghiasi lemari kaca dan meja kerja, mulai dari foto masa kanak-kanak Varen dan saudaranya, hingga masa ketika mereka sudah dewasa.
Varen sempat terpaku, tenggelam dalam nostalgia. Perhatiannya baru teralihkan ketika sang ayah datang.
Pria paruh baya itu memakai kacamata. Dia duduk di hadapan Varen, mengamati anak lelakinya yang telah bertransformasi menjadi seorang pria dewasa.
"Jadi," awal Adrianto. "Kamu akhirnya mau membicarakan sikap kurang ajarmu?"
Varen menatap ayahnya. Dia mencoba merilekskan diri dengan bersandar pada punggung sofa.
"Aku punya utang penjelasan," katanya.
Adrianto menghela napas panjang. Dia menyilangkan kaki dan melipat kedua tangan di depan dada.
"Penjelasan tidak akan cukup. Kamu seharusnya minta maaf karena sudah mempermalukan keluarga."
Varen mencoba untuk tersenyum, meredam letupan emosi.
"Nah, kita ngobrol baik-baik aja, Pa. Jangan menuduh aku gitu. Aku nggak bermaksud buat memancing pertengkaran."
Andrianto mengamati anaknya, tak membalas ucapan itu, tetapi dia memberi sinyal agar Varen lanjut berbicara.
"Aku nggak bisa menerima perjodohan bukan tanpa alasan," ungkap Varen, mulai mengutarakan keresahan yang selama ini tidak dia sampaikan. "Mama udah tau ini, inilah alasan dia mendukung aku," tambahnya. "Rachel dan aku memang sudah berteman lama. Tapi, sejak dulu sampai sekarang, aku nggak pernah ada ketertarikan khusus ke Rachel. Aku nggak bisa terus-terusan menghadapi dia yang kekanakan gitu. Aku juga lebih suka cari pasangan sendiri daripada dijodoh-jodohin gini."
"Aku dan ibumu dulu menikah karena perjodohan juga. Kamu pasti nanti bisa beradaptasi," tandas ayahnya.
Varen mengerjap. Dia lalu tertawa pelan.
"Aku? Papa yakin?" ujarnya dengan tidak percaya. "Aku bukan orang kuno seperti Papa—"
"Varen," tegas ayahnya.
"Aku nggak akan bisa selalu meng-handle Rachel. Dia sangat merepotkan," ungkap Varen pada akhirnya. "Dan keputusanku ini bukan tanpa pertimbangan. Aku udah tau konsekuensi yang akan muncul semisal aku menimbulkan masalah dengan keluarga Sambara." Varen menatap ayahnya lurus-lurus, memperhatikan raut penuh kalkulasi di sana. "Papa khawatir, kan, kalau nantinya Sambara menjual porsi sahamnya yang ada di Mandala?"
Adrianto masih mendengarkan. Varen memilih untuk melanjutkan ucapan.
"Sambara dikenal oleh banyak pengusaha dan investor. Mereka selalu menanam saham di perusahaan yang dianggap prospektif dan terpercaya. Banyak pihak yang menyoroti gerak-gerik mereka, sampai menjadikan mereka sebagai standar untuk menilai worth suatu perusahaan, apakah perusahaan itu pantas dijadikan ladang untuk menanam saham atau enggak," jelas Varen panjang lebar.
"Semisal Sambara menjual kepemilikan sahamnya secara tiba-tiba, artinya ada yang nggak beres dengan perusahaan yang dia investasikan. Papa pasti khawatir, Sambara bakal menjual saham yang mereka punya di Mandala. Penjualan saham ini akan membuat investor lain mempertanyakan kompetensi Mandala," tambah Varen. Dia menaikkan alisnya. "Begitu, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bound Together [END]
RomanceSahabat lelaki, bagi Briana, sosok bernama Varen Abimanyu hanyalah seorang sahabat lelaki yang dikenalkan oleh ibunya ketika dulu mereka masih kanak-kanak. Mereka tumbuh dan berkembang bersama, menyaksikan kejatuhan, perjuangan, dan pencapaian yang...