52 ; Pilihan

6.1K 957 178
                                    

RIASAN WAJAH CUKUP membantunya menyamarkan rona pucat. Briana kira, takkan ada yang tahu dengan insiden tadi malam. Dia tidak menyangka, dari sekian banyak orang, Ramalah yang menanyakan keadaannya.

Pria itu baru saja menghampiri dapur kantor. Dia hendak menyeduh kopi panas ketika mendapati Briana yang sedang membuat teh hangat selagi melamun. Seduhan air panas sudah hampir penuh. Briana akan tersiram air panas itu kalau saja Rama tidak menarik tangannya dari tombol dispenser.

"Lo lagi sakit sampai nggak bisa fokus gini?" tanya pria itu.

Briana terdiam. Dia melirik air di dalam gelas yang terlihat hampir tumpah. Alih-alih membalas pertanyaan Rama, dia mengembuskan napas pelan dan menggumamkan terima kasih.

Tanpa mengatakan kalimat lain, dia berbalik, hendak beranjak keluar.

Rama menghentikan langkahnya dengan ucapan.

"Harusnya dengan kondisi gini lo nggak perlu berangkat. Kenapa masih maksa dateng? Nggak ada yang minta lo buat istirahat aja?"

Briana menoleh, menatap pria di belakangnya.

"Gue nggak sakit dan nggak perlu istirahat di rumah."

Rama menaikkan alis. Dia mendengkus pelan.

"Jawaban klasik. Lo selalu bohong soal kesehatan." Dia memperhatikan Briana lamat-lamat, teramat yakin bahwa Briana sedang tidak baik-baik saja. "Varen nggak sadar lo lagi berantakan gini?"

Briana memikirkan Varen dan segala hal yang telah dilakukan pria itu, mulai dari menjemputnya dari kelab hingga menyiapkan obat dan juga makanan.

Mana mungkin Varen tidak mengetahui keadaannya?

"Dia tau dan dia menghormati keputusan gue buat tetep berangkat," timpal Briana pada akhirnya. "Kemarin kita udah ngobrol panjang, Ram. Harusnya lo paham. Lo nggak perlu terlalu ikut campur urusan gue lagi."

Rama tak langsung membalasnya. Sesaat, Briana kira Rama akan tersinggung. Nyatanya, lelaki itu tersenyum samar. Dia mengangguk pelan.

"Nggak perlu khawatir, gue nggak akan melewati batas." Briana melihatnya berbalik, mulai membuka lemari dan mengambil wadah bubuk kopi, hendak menyeduhnya. "Gue mau mastiin kondisi lo aja, nggak lucu kalau tiba-tiba lo pingsan. Masalah kemarin pasti masih bikin lo pusing. Mau gimana pun juga, Oscars termasuk tujuan terbesar lo. Gue paham semisal lo masih kecewa karena hal itu."

Baru kemarin Rama memintanya 'sadar' dan menyuruhnya agar tidak terlalu berangan-angan untuk mencapai mimpi yang besar. Briana tak tahu respons yang harus diberikan dari nada simpatik ini.

Yang diberikan Briana hanyalah tatapan kosong. Ketika lelaki itu selesai menyeduh minuman, Briana sudah kembali memunggunginya, hendak beranjak pergi.

"Tadi siang gue sempat ke kantor Gita buat lihat email palsu itu," ujar Rama dengan mendadak, lagi-lagi memancing Briana dengan ucapan. "Alamat email-nya official dan berasal langsung dari panitia, bukan cuma pesan spam abal-abal. Di sini permasalahannya bukan tentang Gita yang teledor. Dia udah beberapa kali ngecek pengirim email itu dan alamatnya emang sama persis kayak milik panitia aslinya. Mencurigakan banget, kan?"

Briana mengerutkan kening dengan spontan. Dia menatap Rama dengan pandangan bertanya.

"Nggak masuk akal. Maksud lo, panitia ini sengaja mengirim informasi yang salah ke kita?"

"Bukan, kenapa juga mereka pakai akun sendiri kalau emang mau kasih kecurangan?" timpal Rama. Dia bersandar pada konter dapur selagi meniup pelan kopi panasnya. "Gue rasa, ada orang luar yang nge-hack akun email mereka dan pakai email itu seenaknya. Gue menyimpulkan ini karena kemarin waktu kami menghubungi mereka buat komplain, mereka merasa nggak bersalah. Saat itu mungkin mereka ngiranya kita dapat informasi palsu dari email antah berantah yang mengatasnamakan mereka, semacam pesan penipuan dari nomor entah mana yang sering nawarin pinjol. Jadi, mudah aja bagi mereka buat menggampangkan komplain ini."

Bound Together [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang