Gendhis senantiasa sabar mengusap punggung putrinya dengan gerakan lembut. "Stt, uda ya sayang. Lupain kejadian yang kemarin, Viola tetep anak bunda yang paling cantik tau," tuturnya pelan.
Disingkirkannya helai anak rambut putrinya, Gendhis tersenyum hangat.
"Viola sempurna, Viola itu cantik. Semua sayang sama Viola. Ayah, Bunda, Abang semuanya sayang sama Viola, udah ya jangan sedih," lanjutnya berusaha menenangkan.
Viola yang masih terisak mengubah posisi seperti menatap sang bunda. "Kalau aku cantik, kenapa mereka bilang kalau Nathan itu salah milih aku Bunda? Kenapa mereka bilang aku ga pantes bersanding sama Nathan, Bunda?"
"Mereka bilang Nathan juga buta karena nggak mau milih Shopia, kenapa mereka bilang gitu Bunda?"
Gendhis menghentikan usapannya, beralih mengusap air mata Viola dengan ibu jari. "Sayang, dengerin Bunda ..."
"Mereka kaya gitu karena mereka iri, mereka iri sama kamu."
"Kenapa iri?" tanya Viola.
"Karena kamu punya banyak orang yang sayang dengan tulus ke kamu sedangkan mereka nggak punya. Jadi, mereka milih ngolok-olok kamu dengan kata kaya gitu padahal dihati mereka cuma ada rasa iri kenapa nggak bisa jadi kaya kamu," jelas Gendhis panjang lebar.
Ditatapnya Viola yang masih menangis. "Ayah, Bunda, Abang selalu ngasih apa yang Viola mau, karena apa? Karena kita semua sayang sama Viola. Begitu juga Nathan, diantara banyak cewek yang mau miliki dia tapi dia tetep milih kamu, kan?"
Viola mengangguk lirih.
"Nathan sayang sama kamu, dia pengen jagain kamu selalu. Dia tulus, nggak memikirkan kekurangan kamu. Dia bangga punya kamu, sama halnya kaya Bunda dan Ayah," ungkap Gendhis kembali menghapus air mata Viola.
"Sekarang kamu harus percaya diri, nggak boleh ngerasa insecure ya?"
Lepas kata itu, Viola langsung menubrukkan tubuhnya pada sang bunda. Menangis terisak karena haru. "Makasih Bunda, makasih banyak," katanya mulai melemah.
"Sekarang kamu tidur, okey?"
Viola mengangguk, mulai membaringkan tubuh setelahnya Gendhis menarik selimut sebatas dada. Mengecup kening putrinya sembari berucap, "Good night, sayang."
Keluar dari kamar Viola, Gendhis melihat Arkana yang masih sibuk dengan laptop dipahanya. "Mas belum tidur?"
Arkana menggeleng.
"Masi ada pekerjaan? Selarut ini?"
"Ini penting, Keandra bilang udah ada pendonor buat Viola."
***
Bugh
"Udah gue bilang anjing, lo emang gak becus jagain adik gue! Lihat sekarang apa yang udah lo lakuin bangsat?!"
Bugh
"Lo ngerusak kepercayaan gue, kenapa hah?! Kenapa lo bawa Viola pulang dengan keadaan kaya gitu, udah puas lo?!"
Bugh
"Lo ga pantes idup anjing!"
Pukulan demi pukulan diterima oleh Nathan, cowok itu bahkan tiada niatan untuk menangkis ataupun melakukan gerakan pembelaan diri. Dirinya seakan sudah pasrah, ini memang konsekuensi yang harus diterimanya.
"Arjuna, Sadewa sudah cukup!" perintah Rajash dengan suara terkesan dingin, wajahnya datar penuh wibawa. Cowok itu perlahan menyingkirkan kedua adiknya yang masih memukuli Nathan tanpa ampun, lalu membantunya untuk berdiri.
"Biarin gue ngasih pelajaran ke dia, Bang!" pekik Arjuna sudah mengambil ancang-ancang hendak memberikan bogeman lagi.
Pandu dengan sigap menahan adiknya, memegang tubuh itu sekuat tenaga. Sedangkan Keandra sendiri menatap Nathan penuh permusuhan, sebelum pergi ia membenahi baju yang dipakainya lalu berujar, "Kali ini lo bener-bener ngerusak kepercayaan yang udah gue bangun selama ini. Selamat!"
Arjuna melepas kasar cekalan sang kakak. Kemudian menarik krah kemeja yang dipakai Nathan sembari menatap tajam si lawan bicara. "Lo selamat, tapi lain kali gue buat lo mati ditangan gue, brengsek!" umpatnya lalu pergi.
Tersisalah Nathan bersama kedua abang tertua gadisnya. Kedua pria dewasa itu menatap dirinya seakan ingin memakan dirinya mentah-mentah. Namun dirinya sendiri tidak ada rasa takut, hanya mungkin ia sedikit merasa khawatir mengenai keadaan gadisnya.
"Lain kali nggak usah ngajak Viola ke tempat yang beresiko, gue pikir lo ngerti," tukas Rajash menepuk bahunya dua kali kemudian memberinya sehelai tisu basah untuk menyela darah yang keluar dari sudut bibirnya. Dilihatnya cowok itu, tanpa kata lagi ia pergi.
Pandu mendekatinya, memberikan helaan napas kemudian berkata, "Lebih baik lo pulang sekarang, nggak akan ada gunanya lo nunggu pun sampai pagi gak akan dikasih ijin sama Ayah buat nemuin Viola. Biarin dia nenangin diri dulu, gue harap lo ngerti apa yang gue maksud."
"Please Bang, biarin gue ketemu Ola sebentar aja."
Pandu menggeleng sebagai jawaban.
Hari sudah larut, semenjak kejadian di birthday party milik Shopia-dirinya memang belum bertemu lagi dengan gadisnya, bukan karena tidak mau tetapi penjagaan ketat dari kelima kakaknya juga satu pawang penting yakni ayah dari gadis itu tidak mengijinkannya bertemu dengan gadisnya.
Nathan menyesal, sangat menyesal. Kemarin malam ia membawa gadisnya pulang dengan keadaan yang menyakitkan, gadisnya pulang berderai air mata. Tubuhnya bergetar ketakutan, semula rencana ingin membuat gadisnya bahagia malah sebaliknya.
"Gue tau lo kangen Viola, tapi dia sendiri bilang mau nenangin hatinya. Dia belum mau ketemu sama lo."
Sakit, perih. Mungkin itulah yang dirasakannya kini, ia sangat rindu. Merelakan menunggu hingga tengah malampun nyatanya tidak membuat hati gadisnya tergugah yang membuat dirinya semakin merasa bersalah. Sesal selalu menggerayangi hatinya perlahan-lahan.
"Tapi Bang-"
"Mending lo pulang, udah larut." Selanjutnya kakak pertama gadisnya melangkah menutup gerbang yang menjulang tinggi itu. Nathan menghembuskan napasnya lelah.
Dirinya kemudian melangkah menuju motor dengan keadaan hati yang tidak menentu. Menghidupkan motor sport itu lalu menarik gas sekencang mungkin.
Tetapi hal yang perlu diketahui sebelumnya adalah, Nathan tidak mengarahkan motornya menuju jalan ke rumah melainkan menuju tempat dimana suara deru motor bersahut-sahutan.
Ya, cowok itu mengendarai motornya menuju sirkuit balap liar-untuk mengalihkan frustasi dipikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Prince
Teen Fiction"Suatu saat aku pengen bisa liat kamu, Nathan. Semoga aja nanti pas kamu wisuda udah ada pendonor dan aku bisa liat wajah ganteng tunanganku ini." "Nathan, kamu denger aku?" Hening. "Aku janji. Suatu saat pasti kamu akan bisa ngeliat lagi indahnya s...